Cek Fakta: UMK dan UMP Dihapus di UU Cipta Kerja

- 8 Oktober 2020, 15:30 WIB
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo.
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo. /Foto: Instagram @bambang.soesatyo/

 

RINGTIMES BANYUWANGI – Setelah DPR RI mengesahkan UU Cipta Kerja pada Senin, 5 Oktober 2020 lalu membuat banyak pihak mengecam dan berbondong-bondong melakukan aksi demo di sebagian wilayah di Indonesia.

Demo besar-besaran tersebut banyak dilakukan oleh para mahasiswa, selain itu dilakukan oleh buruh dan pekerja.

Diketahui demo tersebut dilakukan untuk menyoroti beberapa poin dalam UU Cipta Kerja yang dianggap tidak pro rakyat.

Bahkan tak hanya itu, di berbagai media sosial juga santer beredar drama saat acara pengesahan UU Cipta Kerja di Gedung DPR yang membuat sebagian masyarakt tambah geram.

Baca Juga: Jember Menggugat, Aksi Teatrikal Mahasiswa Sebagai Bentuk Protes Tolak RUU Cipta Kerja

Terkait banyaknya isu yang beredar di masyarakat mengenai isi poin-poin di dalam UU Cipta Kerja tersebut membuat Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta masyarakat agar tidak termakan hoaks atau berita bohong.

"Di luar sana berkembang berbagai propaganda, hoaks, misinformasi, mau pun disinformasi yang mendiskreditkan UU Cipta Kerja. Sebagai contoh, ada isu yang menyatakan upah minimum kabupaten/kota (UMK), dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMS) dihapus. Padahal tidak seperti itu," ujar Bambang Soesatyo dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, 7 Oktober 2020.

Kemudian ia menjelaskan bahwa Pasal 88 C UU Cipta Kerja menyatakan gubernur wajib menetapkan UMP (ayat 1) dan dapat menetapkan UMK (ayat 2), sementara penetapan UMK harus lebih tinggi dibanding UMP (ayat 5).

Soal pesangon, dalam peraturan sebelumnya, pesangon diberikan sebesar 32 kali gaji. Namun, tercatat hanya tujuh persen perusahaan yang taat karena besarnya beban yang ditanggung.

Baca Juga: Lirik Lagu Penipu Cinta dari Jaz Hayat

Menurut dia, aturan sebelumnya justru menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) serta investor.

Untuk itu, penyesuaian pesangon menjadi 25 kali gaji justru disebutnya hal yang realistis agar tidak memberatkan perusahaan serta tidak mengecilkan pekerja.

"Ke depan perusahaan tidak bisa berkilah dengan berbagai alasan untuk tak membayar pesangon. Bahkan dalam UU Cipta Kerja juga terdapat aturan baru perlindungan sosial berupa jaminan kehilangan pekerjaan/JKP (Pasal 18). Keberadaan JKP tak menambah beban pekerja karena keberadaannya dimaksudkan sebagai up grading dan up skilling serta membuka akses informasi ketenagakerjaan bagi pekerja yang menghadapi PHK," tutur Bambang Soesatyo.

Informasi lain soal waktu kerja terlalu eksploitatif, tidak berperikemanusiaan serta menghilangkan hak cuti dikatakannya juga tidak benar sebab Pasal 77 Ayat 2 UU Cipta Kerja mengatur waktu kerja untuk lima hari kerja sebanyak delapan jam per hari, serta untuk enam hari kerja sebanyak tujuh jam per hari.

Halaman:

Editor: Ikfi Rifqi Arumning Tyas

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x