Penyebab Membaca Jurnal Ilmiah Sulit Dipahami, Ada Kutukan Ilmu Pengetahuan

- 22 Juni 2021, 12:29 WIB
Ilustrasi Membaca Buku/Membaca jurnal ilmiah sering tidak membuat tercerahkan, justru pusing tidak paham arti tulisan itu. Penyebabnya kutukan ilmu pengetahuan.
Ilustrasi Membaca Buku/Membaca jurnal ilmiah sering tidak membuat tercerahkan, justru pusing tidak paham arti tulisan itu. Penyebabnya kutukan ilmu pengetahuan. /Alexandra Fuller/Unsplash.com/Alexandra Fuller

RINGTIMES BANYUWANGI - Membaca jurnal ilmiah yang sarat ilmu, sering kali sulit dipahami masyarakat awam.

Masyarakat dibuat tidak paham pada istilah-istilah yang terasa berasal dari luar planet, hingga membaca jurnal ilmiah terasa sulit.

Padahal membaca jurnal ilmiah bisa menjadi saluran bagi masyarakat untuk memahami berbagai kondisi terbaru secara terukur.

Baca Juga: 9 Manfaat Membaca Buku bagi Kesehatan, Bisa Mencegah Penyakit Alzheimer dan Insomnia

Intinya sebetulnya membaca jurnal bisa membuat masyarakat awam memahami informasi yang benar tentang sebuah masalah, karena telah dibuktikan oleh penulis jurnal itu.

Biasanya penulis jurnal menggunakan metode-metode ilmiah untuk membuktikan kebenaran dari sebuah pendapat atau perkiraan.

Akademisi yang menulis jurnal itu jadi seperti orang yang terpisah dari Bumi, tulisan mereka tidak dikenali dan jauh dari jangkauan masyarakat luas.

Baca Juga: Generasi Muda Membaca Sejak Dini

Profesor dan Mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Edy Suandi Hamid, sampai menyatakan bahwa kondisi seperti itu sebagai pemborosan besar hasil riset di Indonesia.

Penelitian akademisi selalu membutuhkan modal waktu, tenaga, pikiran dan uang, yang hasilnya tertuang dalam jurnal atau bentuk karya tulis ilmiah lain.

Bisa tidak kita ketahui akar masalahnya, untuk kemudian melakukan upaya pengubahan biar jurnal ilmiah lebih ramah pada masyarakat awam.

Baca Juga: Untuk Perbaiki Kemampuan Membaca, Nadiem Akan Ubah Buku Pelajaran

Dikutip dari theconversation.com, ada tiga penyebab para akademisi membuat jurnal ilmiah yang keren, hebat, canggih, namun tidak bisa dikonsumsi masyarakat.

1. Ada Kutukan Ilmu Pengetahuan

Jadi ada sebuah kutukan yang namanya kutukan ilmu pengetahuan.

Kutukan ini membuat seakan-akan ilmu dan ilmuwan memiliki jarak yang jauh dengan masyarakat kebanyakan.

Baca Juga: Rutin Membaca Surah Al-Ikhlas, Ketika Meninggal akan Disholati 70.000 Malaikat

Jadi kondisi ilmu pengetahuan dan ilmuwan yang terpisah dengan masyarakat dipandang sebagai bawaan mereka sejak lahir dan melekat selamanya bak kutukan.

Sumber masalahnya ilmuwan menulis jurnal ilmiah menggunakan perspektif keilmuan, bukan sudut pandang masyarakat yang menjadi sasaran publikasinya.

Pengambilan perspektif itu tanpa sengaja juga berpengaruh pada pemilihan kata atau istilah dan penyusunan kalimat dalam jurnal ilmiah.

Baca Juga: Keutamaan Membaca Surah Al-Mulk di Malam Hari, Salah Satunya Penghalang Siksa Kubur

2. Mereka Sengaja Pakai Istilah Sulit

Tidak perlu kaget. Sebagian akademisi sengaja memilih istilah sulit dalam menulis jurnal ilmiah.

Profesor Psikologi dari Harvard University Amerika Serikat (AS), menyebut gaya penulisan ilmiah yang penuh jargon atau istilah khusus itu, sebagai gaya academese.

Budaya academese, atau menulis dengan bahasa tinggi ini bisa jadi dimaksudkan pelakunya agar dia nampak kredibel, menguasai topik dan memiliki keilmuan yang tinggi.

Baca Juga: 7 Keistimewaan Membaca Surah Yusuf, Dapat Meningkatkan Karisma

Bahkan sebagian mungkin menggunakan istilah keren dan jargon itu untuk menutupi penelitiannya yang biasa saja agar nampak sangat berharga.

Dari studi oleh Profesor Psikologi dari Carnegie Mellon University AS, Daniel Oppenheimer, menyebutkan 86 persen responden dalam penelitiannya, mengaku pernah sengaja menggunakan kosa kata rumit supaya karyanya terasa lebih ilmiah.

Dua per tiga dari mereka bahkan sengaja repot-repot menggunakan tesaurus untuk mencari kata yang lebih sulit untuk menyampaikan maksudnya.

Baca Juga: 5 Khasiat Membaca Al Fatihah 100 Kali, Sudah Diamalkan Para Tokoh Agama

3. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah bahkan dinilai sampai mempengaruhi bagaimana para akademisi mempublikasikan hasil penelitian mereka.

Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 20 Tahun 2017, mengatakan negara akan memberikan penghargaan kepada akademisi yang tulisannya tayang di jurnal ilmiah.

Penghargaan ini tidak hanya dalam bentuk uang, namun juga dari institusi masing-masing dengan besaran yang berbeda-beda.

Misalnya di UII Yogyakarta, dimana untuk prosiding karya ilmiah menuju konferensi akademik di tingkat internasional, bisa mendapatkan dana dari kampus senilai Rp8 juta.

Media massa yang memiliki karakter menghadirkan tulisan yang familiar terhadap orang awam, kemudian tidak menjadi saluran prioritas publikasi penelitian ilmiah.

Akademisi yang mempublikasikan penelitian melalui media populer, mendapat angka kredit (AK poin untuk usulan kenaikan jabatan) yang lebih kecil dibanding menampilkannya di jurnal ilmiah.

Mempublikasikan penelitian di media massa dapat 1 AK dan dengan menulis di jurnal nasional berbahasa Inggris yang bisa sampai 20 AK.

Masyarakat yang lebih sering mengonsumsi berita, menjadi semakin jauh dari hasil penelitian para ilmuwan yang tayang di jurnal itu.***

Editor: Shofia Munawaroh

Sumber: The Conversation


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x