Hukum Nasab Anak yang Hamil Diluar Nikah Menurut Islam

- 4 April 2021, 15:28 WIB
Ilustrasi hamil diluar nikah
Ilustrasi hamil diluar nikah /Pexels/Nappy/

RINGTIMES BANYUWANGI – Jika seorang wanita mengalami kehamilan pranikah kemudian dinikahi dengan pria yang menghamili.

Apakah ini diperbolehkan dalam Islam? Padahal si wanita mengandung janin ketika pernikahan belum berlangsung.

Dilansir oleh Ringtimesbanyuwangi.com dari kanal YouTube Doa Pedia pada 4 April 2021, berikut adalah penjelasan tentang nasab anak hasil zina:

Para ulama berbeda pendapat, bolehkah menikahi wanita yang hamil. Para ulama dari kalangan madzhab maliki dan hambali berpendapat.

Baca Juga: 9 Dosa Orang Tua kepada Anak, Ada yang Mencintai dengan Syarat

Baca Juga: 8 Sifat Istri yang Dibenci Suami, Salah Satunya Istri yang Gemar Berdusta

Tidak boleh menikahi wanita yang hamil karena zina. Baik yang menikahi itu lelaki yang menghamili atau bukan.

Bila keduanya menikah, tidak boleh berhubungan dan harus akad lagi ketika anak dalam kandungan itu lahir.

Pendapat ini berdasarkan pada teks eksplisit ayat yang menyebutkan bahwa ‘iddah wanita hamil itu sampai melahirkan.

Baca Juga: 5 Tanda Istri Tidak Bahagia, Seperti Lebih Banyak Diam

Baca Juga: Apakah Doa Buruk Orang Tua Mustajab? Yuk Simak Kisah Juraij yang Didoakan Mati

Baca Juga: 9 Dosa Orang Tua kepada Anak, Ada yang Mencintai dengan Syarat

Para ulama ini juga berhujjah dengan hadist Rasullah SAW.

“Tidak boleh melakukan hubungan dengan wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan.”

Sedangkan ulama dari kalangan madzab syafi’i berpandangan boleh menikahi wanita yang hamil karena zina.

Sebab air mani yang ada dalam wanita itu tidak memiliki kemuliaan sehingga dianggap tidak ada.

Jadi boeh menikah dengannya. Apabila lelaki dan wanita yang hamil karena zina itu menikah, sedangkan anaknya itu.

Hasil dari keduanya sebelum menika, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama berpandangan bahwa anak itu dinisbatkan kepada ibunya.

Ia tidak saling mewarisi dengan ayahnya. Ayahnya juga tidak bisa menjadi wali. Hubungan keduanya seperti hubungan ayah tiri.

Walaupunsecara biologis anak itu adalah darah dagingnya. Para ulama tersebut berhujjah dengan hadist Rasullah SAW:

“Al-walad lilfirasy walil’ahiri al-hajr”

Artinya: “Anak adalah milik orang yang berhak atas wanita yang menjadi ibu bagi anak itu dan pelaku zina tidak mendapatkan apa-apa”.

Jadi lelaki yang berhak secara sah terhadap wanita itulah yang berhak atas anaknya. Karena lelaki berzina itu tidak berhak atas wanita yang ia hamili.

Maka ia tidak berhak atas nasab anaknya. Di samping itu para ulama tersebut berhujjah dengan hadist Rasullah SAW:

“Dan apabila anak itu bukan dari wanita yang bukan miliknya atau diri wanita yang ia zinai, maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya dan tidak pula mewarisinya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ad-Darami).

Sebagian ulama berpandangan bila lelaki yang menikahi itu adalah lelaki yang menghamili, maka anak itu bisa dinisbatkan kepada ayahnya secara biologis.

Menurut mereka, hadist yang menyatakan bahwa “Al-Walad lilfirasy (anak adalah milik orang yang berhak atas wanita yang menjadi ibu bagi anak itu)”

Berlaku ketika terjadi sengketa atas nasab anak. Apabila tidak ada sengketa, nasab bisa dinisbatkan kepada orang yang mengakuinya sebagai anak.

Jadi bila lelaki itu menikahi wanita yang hamil karena dirinya, maka anak itu bisa dinisbatkan kepadanya.

Ibnu Qayyiiim menyebutkan bahwa pendapat yang kedua ini adalah pendapat Hasan Al-Bashri berdasarkan pada riwayat Ishaq ibnu Rahawaih.

Hujjah atau dalil para ulama yang mengikuti pendapat ini adalah:

Kebijakan Umar bin Khattab menetapkan nasab orang-orang yang pernah hidup di masa jahiliah.

Berdasarkan pada pengakuan mereka. Jadi ketika A mengaku bahwa B adalah anaknya, maka Umar menetapkan B sebagai anak A.

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa seorang anak yang lahir dari zina tidak akan mendapatkan hak nasab ayah biologisnya.

Menurut hemat kami, untuk konteks indonesia, bila seseorang menikahi wanita yang pernah berzina dengannya dan mengandung anak biologisnya.

Lalu keduanya menikah sebelum anak itu lahir, secara administrasi ia bisa menjadi anak kandung atas anaknya.

Hanya saja, dalam hal perwakilan nikah dan hak waris mengikuti nasab ke ibunya.

Untuk perwakilan nikah, yang menjadi wali adalah hakim. Sedangkan untuk warisan ayahnya bisa memberikan bagian pada anak tersebut.

Lewat wasiat atau hibah. Dengan begitu, kehormatan keluarga tetap terjaga tanpa mengorbankan unsur kehati-hatian.

Akan tetapi bila orang tersebut mengikuti pendapat yang keduanya, menjadikan anak itu sebagai nasab anak hasil zina yang sah.

Hal tersebut tidak bisa kita larang atau kita sikapi dengan negative. Dan memang, di antara ulama besar ada yang berpandangan seperti pendapat yang kedua.

Wallahu a’lam, semoga bermanfaat dan kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT.***

Editor: Ikfi Rifqi Arumning Tyas


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah