Membaca Naluri Mudik

- 23 Mei 2020, 14:33 WIB
Moh.Husen.*/
Moh.Husen.*/ /Koleksi Pribadi

Oleh: Moh. Husen*

Wabah pandemi Coronavirus selama ini semacam mengajari kita akan pentingnya keutuhan yang selama ini sering kita tinggalkan. Bahwa hidup itu jasmani dan ruhani. Keduanya harus utuh. Harus dipakai. Bahkan keduanya jangan sampai terpisah. Terkadang hidup kita jasmani melulu, materi melulu, yang kelihatan mata melulu.

Orang disebut telah shalat kalau tampak shalat di masjid. Mencari ilmu baru diakui jika terlihat masuk sekolah dan hadir di kelompok pengajian tertentu. Kepandaian dan kealiman parameternya hanya gelar-gelar kultural dan akademik, sehingga kalau ada orang tampak secara terang-terangan hidup tanpa gelar segera disimpulkan sebagai orang bodoh yang tak mengetahui apa-apa.

Padahal segala sesuatunya harus jasmani dan ruhani. Tidak yang kasat mata melulu. Belajar diluar sekolah ya namanya juga mencari ilmu. Shalat dimana saja ya namanya shalat. Bahwa jasmani dan ruhani itu beda, memang iya. Tapi keduanya sama penting. Shalat di masjid itu penting. Shalat di rumah sendiri juga penting, apalagi jika musim hujan. Masing-masing orang boleh-boleh saja menafsirkan hujan sebagai segala sesuatu apa saja yang membahayakan manusia dan belum ada semacam protokol kesehatan yang bisa diterapkan.

Baca Juga: Viral, Mayat Melayang dari Udara dalam Kecelakaan Pesawat Pakistan

Termasuk soal mudik. Dia jasmani ruhani. Kalau ruhani saja, katakanlah, mudik via telfon atau video call: mungkin rasa-rasanya kurang nikmat dan masih menyisahkan ada milyaran sesuatu yang kurang. Mudik secara ruhani memang lebih luas dari urusan video call serta lebih substansial maknanya bila semua perangkat mudik jasmani telah mampu kita ruhaniahkan. Yakni ketika kita telah menyadari bahwa sesungguhnya naluri mudik merupakan naluri setiap manusia untuk menengok dan kembali ke asal usul, yaitu kita semua milik Allah dan akan kembali atau memiliki keinginan untuk kembali kepada Allah. Bukan hanya kangen ibu bapak, saudara, teman-teman, serta kampung halaman.

Kehadiran Coronavirus, semacam menyadarkan kita akan makna mudik secara ruhani itu. Akan tetapi, sekali lagi ya memang nggak enak kalau secara jasmani kita benar-benar tidak bisa mudik. Mungkin dengan alasan darurat Covid-19 agar memutus mata rantai penyebaran dari luar daerah, mending tidak mudik. Atau tak bisa mudik karena alasan ekonomi. Keduanya sama-sama menyayat hati. Tapi jika ada banyak kawan yang tidak bisa mudik seperti sekarang ini, mungkin bisa membantu menemani “duka mudik” yang semoga cukup terjadi dalam Idul Fitri 1441 H kali ini.

Semoga setelah 1 Syawal keadaan normal kembali. Dunia dinyatakan bebas dari Coronavirus. Amin ya Robbal alamin. Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin. (Banyuwangi, 23 Mei 2020)

 

*Penulis buku Opini Medsos. Tinggal di Rogojampi-Banyuwangi.

Editor: Dian Effendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x