Protes Sebuah Suara ke Telinganya

- 1 Juni 2020, 21:01 WIB
Moh.Husen.*/
Moh.Husen.*/ /Koleksi Pribadi

Oleh: Moh. Husen*

Suasana lebaran seakan sudah habis. Kehidupan bagai berjalan cepat dan dipercepat. Meskipun Idul Fitri baru satu minggu menemani kita, rasanya kita sudah loncat duluan meninggalkan bulan Syawal.

Ah, tapi ya tidak juga. Kita masih berada dibulan Syawal. Bulan kemenangan setelah sebulan kita berperang melawan hawa nafsu. Bulan halal bi halal dimana kita saling maaf memaafkan diantara kita. Bahasa Jawanya: lebaran.

Lebaran itu asal kata dari bahasa Jawa, yang berarti lebar atau luas atau ombo atau lapang jiwa kita untuk menerima kenyataan bahwa manusia bukan makhluk tanpa salah. Adakah yang merasa dirinya paling benar, unggul dan tak pernah salah? Tentu tidak ada. Lebaran juga bisa diartikan lebar atau selesai. Kembali nol-nol. Sehingga sungguh indah manusia yang telah kembali fitrah bagai bayi ini, mengisi awal-awal kefitrahannya setelah sebulan berpuasa dengan maaf memaafkan, halal bi halal, atau saling lebur dan lebar alias lebaran untuk saling maaf memaafkan.

Baca Juga: Minyak Bunga Matahari Bisa Digunakan Untuk Kecantikan? Yuk Simak 5 Manfaatnya


Kalau mau idealis teoritis yang perlu kita waspadai justru kata Hari Raya. Semacam pesta atau meraya-rayakan. Bukan tidak boleh. Wajar. Habis susah payah melawan hawa nafsu dalam sebulan penuh, menjadi wajar jika secara naluri kebudayaan kita merayakan keberhasilan namun secara tidak berlebihan, sewajarnya saja.

Namanya saja berpesta atau berhari raya, tentu saja semua boleh ikut. Baik yang berpuasa atau yang tak berpuasa. Wong cuma merayakan dan gembira-gembira saja, tentu gampang sekali. Akan tetapi menjadi lain bagi mereka yang memproses diri menjadi pribadi yang kembali fitri, kembali bersih sesuai aslinya setelah di-restart oleh metode puasa.

Juga lain bagi mereka yang menggenggam relegiusitas lebaran sehingga mampu berbesar hati untuk saling halal bi halal, maaf memaafkan. Dengan kata lain, orang bisa dengan mudah ikut berpesta atau berhari raya, tapi belum tentu mampu mencapai idul fitri dan lebaran. Sebuah keluasan dan kelapangan hati untuk saling maaf memaafkan.

Baca Juga: Meninggal di Usia 88 Tahun, Peramal Ini Sempat Sebut Virus Corona Segera Berakhir

Lebaran bukan sikap hura-hura, pesta-pesta, baju baru, makan minum. Lebaran itu merupakan nilai yang begitu agung dari sebuah idiomatik kultural bangsa Jawa yang menunjukkan bahwa orang yang fitri akan lebar, ombo, dan luas hatinya untuk saling maaf memaafkan kesalahan sesamanya.

Termasuk maafkanlah kesalahan si penikmat kopi hitam yang mengocehkan lebaran pada tanggal 1 Juni dalam catatan hariannya kali ini.

"Yang update pada 1 Juni itu adalah hari lahir Pancasila Sakti," protes sebuah suara ke telinganya. (Banyuwangi, 1 Juni 2020)

*Penulis buku Opini Medsos. Tinggal di Rogojampi-Banyuwangi.

Editor: Moh. Husen


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x