Botol Pengubah Nasib

- 2 Juni 2020, 17:00 WIB
ILUSTRASI cahaya matahari.*
ILUSTRASI cahaya matahari.* /Pixabay/

 


         Mentari mulai bangun dari tidurnya, memancarkan cahaya begitu terang hingga menembus kaca jendela kamar. Hangatnya cahaya menyentuh kulit tangan dan kaki, setelah dirasa cukup lama berjalan jauh menikmati keindahan alam mimpi. Seketika mata terbuka mengakhiri sebuah cerita di dalam dunia semu. Dibukalah kaca jendela, sekujur tubuh terasa nyaman tersentuh hangatnya cahaya, terlihat pula burung-burung terbang bernyanyi, lalu hinggap di dahan pohon mangga berada di depan rumah.Badan berbalik arah ke belakang, keluar kamar mengambil timba-timba akan diisi air nantinya. Kaki mulai melangkah menuju suara gemricik air berjarak 700 meter dari rumah. Tanpa alas kaki, melewati kasarnya kerikil-kerikil di sepanjang jalan, berharap pulang membawa timba-timba terisi penuh air.                                                                       

 Dino tidak menjadikan hal ini beban dalam hidupnya. Ia terpaksa berhenti sekolah kelas IV SD, karena tidak adanya biaya bahkan menjadi tulang punggung keluarga dan membiayai Ratih, adiknya yang masih duduk di kelas II SD.Tiga tahun yang lalu peristiwa tragis telah menimpa mereka. Saat itu nenek mereka meniggal dunia, terpaksa ayah Dino meminta izin kepada mandor kuli angkut beras libur kerja. Tetapi mandor itu tidak mengizinkannya libur, bahkan memecatnya. Ia tampak kebingungan karena tidak punya ongkos pergi ke rumah nenek, letaknya sangat jauh dari rumahnya. Syukurlah, ibu mempunyai simpanan uang, sekeluarga berangkat menaiki angkutan umum. Ketika Dino berada dalam angkutan umum, ia berfirasat bahwa sesuatu hal akan terjadi pada mereka.
''Bu, aku takut. Kok tiba-tiba perasaanku nggak enak, ya?'' kataku mulai ketakutan tanpa sebab.

''Nggak enak apanya, mungkin hanya perasaanmu saja,'' sahut ibu.

 Tubuh Dino dipenuhi keringat dingin. Ia heran, tidak seperti biasanya mendadak takut seperti ini. Digenggamnya tangan ibu berusaha menghilangkan rasa takutnya. Awan mendung menandakan hujan akan turun, petir menggeliat disertai kerasnya suara gemuruh. Akibat hujan lebat, jalanan penuh air dan licin. Sampai di tikungan tajam, tiba-tiba ban bocor. Sopir sulit mengendalikan mobil hingga menerobos pembatas jalan, lalu jatuh ke jurang. Dua jam kemudian, polisi dan Tim SAR datang mengevakuasi seluruh korban. Lima korban dinyatakan selamat dengan luka parah, sedangkan lainnya tewas di tempat kejadian. Dino dan Ratih selamat dari kejadian itu, tetapi Ratih kehilangan tangan kirinya, sedangkan Dino buta sebelah matanya. Akhirnya mereka menjadi yatim piatu, sampai saat ini tiada satu pun saudara mau merawatnya.

Dino bekerja sebagai pemulung, walaupun upahnya tak seberapa, ia rela bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya.''Kak, hari ini kita nggak sarapan lagi?''tanya adik Dino merintih kelaparan.
''Nanti kalau kakak selesai kerja kita makan,ya!'' sahut Dino menahan tetes air mata.
Setiap hari Ratih selalu diejek, karena tidak mempunyai tangan kiri.
''Hahaha... Tangannya yang satu mana?'' Kenapa satunya lagi tidak dipotong saja sekalian,ya?''
Itulah ejekan selalu terdengar ditelinganya, lebih parahnya lagi saat ia berada di sekolah. Teman-temannya tidak hanya mengejek tangannya, tetapi juga mengejek sepatu Ratih karena memakai sepatu buntut yang rusak. Meskipun selalu diejek, ia tidak sakit hati ataupun membalasnya.                     
Penghasilan Dino sedikit, sehingga tidak mampu membeli sepatu baru untuk Ratih. Saat makan sehari-hari paling istimewa, singkong rebus.Walaupun hanya singkong rebus mereka sangat bersyukur, setidaknya bisa mengganjal perut. Dino berpikir bagaimana bisa lebih mencukupi kebutuhan sekolah Ratih. Ia pun menambah kerja sampingan menjual krupuk tetangganya. Hasil upah dikumpulkan untuk membeli buku serta sepatu Ratih. Dino berjalan jauh menelusuri jalan, satu per satu barang bekas diambilnya. Langkah-langkah sekian jauh tanpa disadari terdapat goresan luka pada telapak kakinya. Ia mempunyai akal membuat sandal dari botol bekas. Memang tidak ahli membuat, hanya gepengkan botol plastik dan mengikatnya dengan tali. Sandal sederhana inilah menemani kemana pun langkah pergi.

         Senja hari tiba bersama tertutupnya langit oleh tebalnya awan mendung. Suara gemuruh menggelegar mengiringi derasnya hujan. Tetesan air melewati celah-celah genting yang berlubang. Saat musim inilah ditakutkan kakak beradik ini. Keadaan rumah dinding bambu hampir roboh ditambah angin berhembus_kencang.
''Kak, bagaimana kalau rumah kita roboh? Lantas dimana kita tinggal?'' tanya Ratih berlinang air mata.

''Kita berdoa agar semua baik-baik saja!” jawab Dino berusaha menenangkan adiknya.Sudah beberapa jam hujan belum reda, Ratih tertidur pulas di pangkuan kakaknya.
''Bagaimana kehidupan kita nanti? Apakah selamanya hidup kita seperti ini?'' tanya Dino dalam hati, seribu pertanyaan menghantui pikirannya, tak satu pun mampu ia jawab.

      Di tengah malam yang sunyi, Dino duduk di depan pintu rumah sambil melamun. Ia melihat bintang berkedip terang.

''Apakah mereka tenang di alam sana? Tahukah mereka dengan keadaan kami saat ini? Aku rindu kalian, Ayah.. Ibu...''

Halaman:

Editor: Dian Effendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x