Pembebasan Napi Karena Dampak Covid-19 Perlu Diawasi Secara Ketat

7 April 2020, 14:30 WIB
LAPAS Purwokerto.* /EVIYANTI/PR/

RINGTIMES – Prof Hibnu Nugroho, pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, menilai perlunya mekanisme yang tepat dalam pengawasan narapidana (napi) yang dibebaskan melalui usulan asimilasi dan hak integrasi terkait dengan pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19.

“Ini sudah lebih dari 30.000 orang loh. Saya tidak tahu SOP (Standar Operasional Prosedur) yang betul, yang mana, karena ini suatu kondisi yang kondisional sehingga sekarang ini masing-masing kanwil (Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM),

Baca Juga: Sri Mulyani: Ada Sektor Meraup Keuntungan ditengah Pandemik Corona

masing-masing lembaga pemasyarakatan yang membebaskan napi punya tanggung jawab penuh untuk melakukan pengawasan dan penilaian dari asimilasi yang bersangkutan,” papar Prof Hibnu, di Purwokerto, Senin (6/4/2020).

Kata dia, dalam hal ini ada suatu penilaian atau kontrol yang ketat sehingga tidak sekadar membebaskan napi melalui usulan asimilasi dan hak integrasi tersebut.

Baca Juga: Kumandangkan Adzan, Wujud Penyemangat di Tengah Pandemi COVID-19

Menurutnya, kontrol yang ketat itu dilakukan oleh lembaga yang membebaskan, misalnya Lapas Purwokerto membebaskan 30 napi sehingga ke-30 napi tersebut harus dipantau terus.

Lanjutnya, selain itu hakim pengawas dan pengamat (wasmat) juga punya tanggung jawab penuh dalam pembebasan napi tersebut.

Baca Juga: Kasus PDP Corona di Kabupaten Banyuwangi Bertambah Dua Orang

“Hakim wasmat karena namanya seorang hakim itu sebetulnya tidak hanya memutus lamanya waktu satu tahun, dua tahun, tiga tahun, tapi adalah bagaimana orang tersebut begitu diputus itu bisa kembali ke masyarakat, filosofinya begitu.

Mengapa hakim itu bisa memutus lebih dari tuntutannya, misalnya tuntutan tiga tahun, divonis lima tahun, karena hakim melihat orang ini ternyata enggak bisa kalau cuma dibina tiga tahun, harusnya lima tahun, ini yang harus dipahami oleh semua penegak hukum yang ada,” paparnya lagi.

Baca Juga: Negara Ini Gunakan Kardus untuk Pengganti Peti Jenazah Korban COVID-19

Ia mengatakan pembebasan napi tersebut menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi penegak hukum khususnya Kemenkumham, agar jangan sampai pembebasan tersebut menjadi masalah tersendiri dalam masyarakat karena tidak semua napi yang dibebaskan berasal dari daerah di sekitar lembaga pemasyarakatan itu berada.

“Tidak semudah itu, ada tanggung jawab negara. Dalam hal ini adalah umum atau lembaga pemasyarakatan untuk bisa memantau, bisa menilai,

Baca Juga: Negara Ini Gunakan Kardus untuk Pengganti Peti Jenazah Korban COVID-19

dan sebagainya sehingga napi yang dibebaskan melalui usulan asimilasi tersebut betul-betul bisa diterima masyarakat dan betul-betul sadar, tidak mengulangi lagi kejahatan yang pernah dilakukan,” jelas dia.

Disinggung mengenai usulan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,

Baca Juga: Bayi Asal Wongsorejo PDP Corona Usai Kontak dengan Ayahnya dari Bali

Hibnu mengatakan, hal itu sebenarnya pernah diusulkan oleh Menkumham Yasonna Laoly pada tahun 2015, namun banyak penolakan karena dikhawatirkan memberi peluang pembebasan terhadap napi kasus korupsi hingga akhirnya batal direvisi.

“Saya termasuk yang menolak, bahkan waktu itu membuat surat kepada Presiden, akhirnya mentah lagi, artinya tidak dilanjutkan,” kata dia.

Baca Juga: Perantau Lumajang yang Nekat Mudik Akan Dikarantina 14 Hari

Karena itu, kata dia lagi, muncul pembahasan peraturan pemerintah terkait dengan percepatan pembebasan napi kasus narkotika, karena penghuni lembaga pemasyarakatan di Indonesia, 70 persen di antaranya merupakan napi kasus narkotika.

Tetapi, lanjut dia, peraturan pemerintah tersebut sampai sekarang belum terbentuk, namun malah menggunakan asas kemanusiaan yang berkaitan dengan COVID-19.

Baca Juga: Sejak Berlakunya Lockdown, CEO ZOOM Raih Keuntungan Hingga 66 Triliun

“Jadi, COVID-19 ini rupanya memberikan berkah pada kasus-kasus narkotika untuk dipercepat asimilasinya. Jadi perubahan asimilasi itu yang merupakan kewenangan lembaga pemasyarakatan menjadi asimilasi yang diserahkan kepada keluarga, sepanjang dia sudah menjalani dua per tiga masa pidana.

Saya kira enggak masalah, sepanjang lembaga pemasyarakatan memantau, memberikan penilaian. Jangan sampai proses asimilasi ini gagal, sehingga menjadikan pengulangan tindak pidana, ini yang sangat bahaya,” urainya.

Menurut dia, Menkumham Yasonna Laoly sudah memastikan tidak akan mengajukan revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 untuk membebaskan koruptor.

Baca Juga: Ini Tiga Narapidana yang Tak Akan Dibebaskan Saat Pandemi Corona

Editor: Dian Effendi

Sumber: hajinews.id

Tags

Terkini

Terpopuler