Hatiku Terbungkus Rindu

26 Maret 2020, 14:00 WIB
Gambar Ilustrasi /

         Semua berawal dari masa kelamku, bayi mungil muncul dari rahim seorang ibu yang diberi nama Elsa Nurul Hartanti. Elsa nama panggilanku, kurasakan dekapan hangat ang biasa ku panggil ibu. Aku terlahir dari keluarga yang sederhana, tak terasa umurku 2 bulan saat itu. Saat dimana seorang anak ingin merasakan tubuh hangatnya lebih lam lagi. Seorang anak ingin ditimang seorang ibu, tapi tidak denganku.       

        Mungkin itu hanya mimpi atau harapan yang tak pernah nyata, yang kurasa, tak pernah terbayangkan ketika umur sekecil itu akan kehilangan masa bahagia dengan sosok pemberi kenyamanan saat ia memelukku. Ya, aku ditinggal pergi ayah dan ibu bekerja di Surabaya. Mungkin aku masih belum pernah terpikirkan mengapa mereka memutuskan mencari nafkah di sana  sedangkan buah hatinya membutuhkan mereka. Aku tumbuh gadis kecil di desa bersama nenek dan kakek. Hidup suka duka bersama mereka, masa kecilku penuh kebahagiaan meski tanpa ayah dan ibu.

( Duduk di halaman rumah )

“ Ibu dimana nek? Kok nggak bersama kita ? ( Ekspresi penuh perasaan)

“ ibumu akan datang, nak. Dia sangat menyayangimu, ibumu berkorban banyak agar bisa meraih cita-cita yang kau inginkan. ( sambil mengelus rambutku )

           Pikiranku timbul banyak pertanyaan. Setiap kali aku bertanya tentang mereka, nenek selalu menenangkan pikiranku dengan kata-kata motivasinya. Di situ aku mengerti, tak selalu cerita hidup selalu bahagia, terkadang kehidupan pahit pun harus dijalani sendiri. Nenek selalu berusaha agar aku selalu mengerti dengan kenyataannya. Didikannya membuatku mempunyai arti semangat hidup.

           Aku diajarkan bagaimana cara sopan santun, berkelakuan baik, beribadah dan semua hal baik. Itulah aku mengapa aku tidak pernah berbuat buruk kepada siapapun. Tatapan tajam dari mata sayunya tertuju padaku menandakan di usia yang senja ini aku harus hidup mandiri. Setiap 1-2 bulan ayah dan ibu datang dan menjenguk keadaanku, aku merasakan pelukannya yang tulus membuat tibul pertanyaan dari hatiku.

“ Mengapa ia memutuskan untuk pergi tanpa aku?” (batinku)

(Nenek datang)

“ Kamu memikirkan apa Sa?” Ujarnya

“ Gapapa nek, hanya saja keluarga kita tidak lengkap. Seperti pohon tanpa buah. Kataku “

( Ucapanku membuat nenek terpingkal-pingkal)

“ Kenapa nenek tertawa?’

“ Tidak apa-apa nak, ayo waktunya kita makan!”

Pagi itu sangat cerah, entah mengapa aku bahagia hari ini. Tiba-tiba telepon berbunyi dari kamar dan ….

(aku mengambilnya)

“ Halo Assalamu’alaikum?”

“ Wa’alaikumsalam, sayang gimana kabar kamu di sana? Sudah makan kah?”

Dengan tegasnya aku menjawab. “ Ibuu… Alhamdulilah aku baik, ibu kapan pulang?”

“ Ibu akan pulang besok, ditunggu ya.”

           Betapa senangnya hatiku ibu akan pulang. Tak bisa ku ungkapkan lagi selain rindu padanya, aku segera memeluk nenek dengan erat. Berjam-jam aku menunggu waktu itu, kulihat jam dinding menunjukkan pukul 8 malam. Masih terjaga, membayangkan hari esok akan lebih cerah. Hingga saat pukul 11 malam itu, mata yang selalu berbinar ketika melihatku. Aku berjanji aku akan menangis sekencang-kencangnya melebihi tangisan anak kecil. Mungkin tak biasa, karena tak ada kebahagiaan kecuali ibu selalu ada di sampingku. Ku mendengar suara klakson itu, klakson yang sering kudengar ketika ibu pulang, waktu menunjukkan pukul 11.03.

“ Nenek, ibu dan ayah pulang.” ( tangis bahagia)

            Tanpa berpikir panjang aku langsung memeluknya dengan erat hingga dadanya sedikit sesak. Aku tak tahu perasaan apa yang aku alami, aku lebih bahagia dari seseorang memberi uang. Ya, aku bahagia. Pelukannya mempunyai banyak arti, semua rasa yang ada dalam hatiku berkumpul menjadi satu. Setiap kali pulang, aku tidak luput dari kasih sayangnya.

             Tetapi meskipun begitu, aku tak pernah diajarkan untuk manja. Ucapan nenek selalu terngiang di kepalaku. Itulah mengapa aku tidak menjadi seorang anak yang pendendam, karena aku sudah cukup kasih sayang dari dia. Entah terbuat dari apa hatinya hingga didikannya membuat aku menjadi pribadi yang dewasa dengan umur sekecil itu. Darinya aku belajar banyak hal, kesabaran yang mencapai kebahagiaan ataukah keputus asaan yang membuat kita menyerah dalam menjalani hidup.

“ Sayang, jaga diri baik-baik. Ayah dan ibu selalu mendoakan kamu meski kamu jauh dari ayah, ayah syaang kamu nak.” ( mengusap air mata perlahan )

“ Aku juga sayang kalian, meskipun aku tak tahu jalan pikiran apa yang ayah dan ibu tempuh hingga aku dibiarkan sendiri di sini. ( terisak-isak )

Tetapi meskipun begitu aku beruntung masih punya kasih sayang dari semua keluarga. Rasa kebahagiaan yang tumbuh ketika aku melihat mereka pulang.

 

 

                                                        Tamat

 

 

Karya : Elsa Nurul Hartanti / Editor Naning Dwi J

 

 

 

 

 

 

Editor: Dian Effendi

Tags

Terkini

Terpopuler