Mutiara Yang Retak

- 21 Maret 2020, 17:35 WIB
Ilustrasi perceraian, Foto:
Ilustrasi perceraian, Foto: /PERCIKANIMAN.ID

 

          Keheningan malam mengiringiku melukai selembar kertas menumpang isi kata hatiku keadaan rapuhnya keluargaku. Namaku Lala seorang pelajar SMA, dulu aku tinggal bersama keluargaku kini aku tinggal seorang diri keluarga kecil yang dulu bahagia, harmonis, tapi itu semua kini menjadi berubah saat kedua orang tuaku lebih mementingkan keegoisannya tanpa memandang bayi kecilnya yaitu aku.

          Saat peristiwa itu batinku sangat tersiksa membuat nalarku jauh dari sifatku yang dulu, 2 tahun yang lalu aku anak yang pendiam, taat beribadah, sopan terhadap orang tua, tapi setelah tragedi itu terjadi kepribadianku sirna seketika aku menjadi anak nakal, suka mabuk-mabukan, berfoya-foya, keluar tengah malam, lupa waktu dan sering berbohong. Terkadang aku prihatin dengan kehidupanku jauh berbeda dari mereka teman sebayaku mulai dari pola hidup, berfikir, tata bicara, dan perilaku.

          Aku menyadari bahwa perbuatan yang aku lakukan ini salah, dengan salah jalanku ini aku sudah tidak bisa membendung diri, dengan kelemahanku yang selalu menghukum diriku hingga aku sudah tak perduli lagi dengan keadaanku ini, terkadang hanya terlintas kenapa keluargaku hancur, aku ingin memiliki keluarga yang harmonis seperti keluarga yang di miliki teman-temanku, “Tuhan aku kepingin memiliki mutiara yang utuh bukan mutiara yang retak” kata-kata itu yang selalu membuat aku semakin memiliki sifat brutal. Dengan keretakan keluargaku ini aku semakin kuat untuk berbuat yang tak karu-karuan.

          Dalam kebrutalan ini, aku sudah melupakan segalanya, bahkan aku semakin tak tahu arah, seperti biasa kegelapan hadir tepat waktu detik itu juga aku dinas ke diskotik tempatku menghibur semua beban pikiran, tanpa aku sadari aku melalaikan waktu demi waktu hingga hari telah berganti. Malam semakin larut, ketika ku langkahkan kakiku pulang, yang kulihat ibuku sudah menunggu dengan setianya, ku lontarkan kata untu memangil ibu ku.

“bu..”

“iya” sambil membuka pintu dengan ekspresi kesal, risau bahkan kebencian dalam dirinya

“maaf bu, aku melanggar aturanmu lagi” hanya penyesalan yang aku rasakan

“buat apa kamu pulang kemari? Apakah rumah ini masih penting buatmu?

Halaman:

Editor: Dian Effendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah