Teman Gamers

- 20 April 2020, 16:20 WIB
ILUSTRASI pertemanan.*
ILUSTRASI pertemanan.* /PEXELS/

 

 

    Aku memandangi kamar ini untuk kesekian kalinya. Yang tergambar dalam benakku sangatlah jelas dan tidak berubah. Aku teringat kenangan-kenangan bersamanya, kenangan yang tak akan aku lupakan begitu saja. Aku teringat bagaimana ia selalu ada di sampingku saat senang maupun susah, karena ia selalu mengerti bagaimana membuatku tersenyum.

    Aku seperti dihantam sesuatu. Aku tahu, ini menyakitkan, tetapi aku harus kuat sebagaimana ia berpesan. Ya! Aku tidak akan lagi bertemu dengannya, dihibur olehnya. Bayangan singkat kehidupanku dengannya kembali tergambar jelas, seperti di depanku terdapat sebuah proyektor yang menampilkannya.

    Ketika waktu telah berlalu,bayangan itu membawaku ke saat-saat dimana aku dan dia pertama kali berkenalan saat aku keliru menaruh barang-barangku di dalam tasnya. Dia tertawa, aku tertawa. Aku menanyakan namanya dan dia menanyakan namaku. Pada saat kenaikan kelas, kami memasuki kelas yang sama.


    Kami semakin akrab dengan tempat duduk kami yang diatur berdekatan. Baru aku tahu saat itu bahwa rumahku dan rumahnya hanya berbeda beberapa desa. Ia pun tidak jarang datang ke rumahku untuk mengerjakan tugas. Aku ingat sekali bagaimana saat itu, kami tidak mengerjakan tugas melainkan pergi ke hutan untuk mencari udara segar dan mencari spesies iguana kecil untuk di plihara, jika ada yang membeli, kita jual seharga RP.5000 (sekarang sudah pensiun)

    Saat kita pergi ketempat wisata, dan disana banyak orang yang berpacaran, tetapi hanya  dia yang menghiburku dan melontarkan candaan-candaan yang membuatku tertawa. Ia tahu apa yang kurasakan walaupun aku tidak mengatakannya. Ia bahkan tahu hal-hal yang kusuka walaupun aku tidak pernah menceritakan apapun kepadanya. Ialah yang menjadi alasan mengapa aku dapat kuat hingga detik ini.

    Bayangan itu dengan segera berganti ke saat-saat dimana aku sangat panik karena melupakan tugas yang harus dikumpulkan keesokan harinya. Aku menelponnya, dengan harapan ia dapat menenangkanku. Ternyata benar, ia menenangkanku dengan datang ke rumahku dan membantuku membuat tugas hingga selesai, padahal saat itu hari sudah gelap dan kami menyelesaikannya tepat pada saat ayam berkokok pertama kali. Di sela-sela mengerjakan tugas, ia juga sabar mendengarkan cerita-ceritaku tanpa kuberikan kepadanya kesempatan sedikit pun untuk berbicara.

    Aku kembali menyapukan pandanganku dan memainkan satu game PC yang kami suka Point Blank (PB). Clash Royale adalah sebuah game yang konyol dan dapat membuat kami marah, senang dan taertawa hendaknya orang gila akan kesenangannya jika kita memenangkan turnamen bersama. Saat aku memainkannya lagi-lagi pikiranku dipenuhi oleh bayang-bayang dirinya. Saat itu, kami duduk di kelas 2 SMP dan sedang menjalani ulangan akhir semester I, lalu kami mendapat kabar bahwa akan ada turnamen PB di warnet dekat rumahku dengan hadiah lomba juara1 : RP.650.000, juara2 : RP.250.000 dan juara3 : RP.100.000. Untuk uang pendaftaran hanya RP.15.000/orang, waktu itu sudah ramai orang mendaftar turnamen tersebut, dari anak-anak sampai dewasa mengikuti turnamen tersebut

    Aku ingat sekali mengikuti turnamen tersebut kami menyusun rencana tetapi itu sia-sia. Kami pun berdebat tentang turnamen tersebut. Tetapi saat hari turnamen, aku hanya bias melihat saja dengan dia.
“Kau mau ke mana?” Tanya Ayahku saat itu.
“Aku mau ke rumah Dizta, Yah.”
“Iya, jangan pulang terlambat”
“Siap yah”
    Begitulah pada akhirnya, aku pergi ke warnet dengannya hanya untuk melihat turnamen Point Blank berlangsung dengan baik, dan kami pun ikut menghidupkan PC, kami disana belajar, untuk mengerjakan tugas dari sekolah yang sangat menumpuk, setelah kami mengejakan tugas sekolah, kami langsung bermain game Point Blank, tetapi hanya bermain biasa tidak mengikuti turnamen

    Setelah kejadian itu, ia tidak menyinggung kesalahanku. Ia malah menguatkanku karena ia tahu bahwa sebenarnya aku sangat ingin mengikuti turnamen tersebut.
“Geh, sabar! Nanti setelah ulangan akhir ini kita cari-cari turnamen PB lagi, sampe ke luar kota pasti dibolehin kok! Sekalian liburan, sekalian main game.”

    Ia sama sekali tidak menyalahkanku. Ia sama sekali tidak mencoba untuk mengguruiku. Aku sangat bahagia telah mengenalnya.

    Tetapi aku tidak menduga, bahwa kata-kata yang ia janjikan padaku tidak akan pernah ditepatinya. Bukan  karena ia tidak mau, tetapi keadaan telah sepakat untuk menyiksanya.
“Geh, aku harus pergi ke Bali, aku harus ke sana untuk menengok keadaan kakaku yang sedang sakit. Kata dokter kakaku paah tulang habis kecelakaan naik motor.”
“Oh ya sudah, semoga kakakmu sembuh dan kamu bias kembali kesini untuk bermain PB lagi”

“Iya Geh, aku janji akan pulang dari Bali lebih cepat, do’akan, supaya selamat sampai tujuan”

“Ok Diz”

    Sejak kepergiannya, kami rutin chatingan melalui WA, sekedar menanyakan kabar hingga bercerita bagaimana keadaan disana. Saat itu sangat menggembirakan, hingga aku menyadari bahwa waktu sangat berharga. Aku tidak tahu kapan kami akan berpisah. Aku tidak menanyakannya karena aku tahu, itu semua hanya akan memperburuk keadaan. Biarlah hari demi hari berlalu, dengan matahari yang masih menerangi bumi. Biarlah jarak mengambil alih, karena aku tahu, semua akan indah pada waktunya.

    Kudengar seseorang memanggil namaku, seseorang dengan suara bariton yang khas. Rizal temanku dan Dizta yang belakangan menjadi sahabatku seperti Dizta. Ia pun sudah menganggapku sebagai sahabat seperti Dizta setelah ia ditinggal pergi Dizta ke Bali sepertiku.

    Aku tahu, di antara kami, orang-orang terdekat Dizta,  teman gamersnya sejak SD dulu yang paling kehilangan, karena ia dan Dizta telah bersama sejak kecil. Rizal,  teman yang tegar dan selalu menemani Dizta saat ia sendiri diwaktu SD. Rizal, teman yang setia sampai-sampai ia pindah rumah di Bali ikut mamanya untuk mendampingi Dizta untuk menjadi teman bicaranya di masa liburan sana, mereka berdua bagaikan jiwa dan raga yang sulit terpisahkan,

    Aku tidak habis pikir, seseorang sebaik Rizal harus menjalani cobaan yang begitu berat.

    Apakah ketidakadilan di dunia begitu kentalnya sehingga harus menyiksa semua orang yang benar dan menyenangkan semua orang yang salah? Apakah mungkin balasan untuk semua orang benar akan diterima setelah mereka mendapatkan kehidupan yang kekal? Kuharap begitu.

    Aku hanya tersenyum, mewakili perasaanku sebenarnya.
“Relakan dia, jangan jadikan kepergiannya ke Bali sebagai beban dalam hidup. Yakinlah, ia sedang menyiapkan sesuatu yang terbaik di sana, bagimu, bagiku, bagi semua orang yang disayanginya. Ia disana atas keinginan kakaknya, Geh. Bila saatnya tiba, kita juga akan sampai di sana dan kembali bertemu dengannya. Aku yakin, saat sampai di sana, persiapannya telah selesai. Kau akan menemukan apa yang kau butuhkan, sahabat, keluarga, saudara, dan semuanya akan bersama-sama.”

    Aku kembali tersenyum dan pergi kewarnet untuk main Point Blank bersama dan menanyakan kabar Dizta di Bali sana.
“Zal, boleh aku minta tolong padamu?”
“Tentu.”
“Main bersih ya, no cheat, OK”
    Rizal tertawa dan perasaanku tenang seketika. Saat itu juga aku sadar, hidupku dikelilingi orang-orang yang baik, karunia dari Tuhan. Dalam hati, aku bertekad untuk memulai hidup yang baru.

Halaman:

Editor: Dian Effendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x