Tidak Diikuti Kebijakan Memadai, Target Penurunan Prevalensi Perokok Dinilai Ambisius

9 Maret 2020, 16:00 WIB
ILUSTRASI rokok.* /PIXABAY/

 

RINGTIMES - Berdasarkan RPJMN 2019, pemerintah Indonesia menargetkan penurunan angka prevalensi perokok hingga mencapai 5,4%.

Target penurunan prevalensi perokok yang ditetapkan pemerintah tersebut tidak diikuti oleh kebijakan yang memadai.

Target ini cukup ambisius, mengingat prevalensi perokok di tahun 2013 dan 2018, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencapai 29,3% dan 28,8%.

Pingkan Audrine Kosijungan,Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan, pencapaian target tersebut harus didukung dengan kebijakan yang adaptif dan konkret.

Baca Juga: Pembeli Mengeluh, Harga Gula Di Jember Naik Hingga Rp.4000

Penerapan kebijakan seperti ini sangat penting mengingat Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi di dunia.

Pingkan juga menuturkan, "terjadi pergeseran tren dalam pola konsumsi di tataran global".

Data WHO menyatakan terjadi penurunan jumlah perokok di negara-negara yang berada pada kawasan Amerika, Eropa dan Pasifik dari 765 juta pada tahun 2000 menjadi 710 juta di tahun 2015.

Namun penurunan serupa tidak terjadi di negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, Mediterania Timur, serta Afrika.

Baca Juga: Polri Sita 61.550 Masker dari 30 Tersangka di 17 Wilayah

"Walaupun akumulasi jumlah perokok di ketiga kawasan tersebut tidak sebesar ketiga kawasan sebelumnya, namun terjadi tren kenaikan jumlah perokok dari 317 juta menjadi 364 juta pada periode waktu yang sama," tuturnya, pada minggu 8 Maret 2020.

Beberapa kebijakan terkait pembatasan konsumsi rokok yang diberlakukan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 mengenai Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. PP 109 Tahun 2012 ini mengatur mengenai ketentuan iklan, promosi, sponsorship, kemasan produk rokok sampai kepada pengadaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Menurut dia, pemerintah perlu memperjelas arah kebijakannya melalui penerbitan road map pertembakauan.

Baca Juga: Impor dari India Kemungkinan telah Tiba, Harga Gula Pasir Diperkirakan Kembali Normal Pertengahan Maret

Selama ini pro dan kontra terkait kebijakan pertembakauan terus bergulir karena di satu sisi, tembakau berkontribusi besar dengan menghasilkan pendapatan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT) dan menciptakan lapangan kerja dengan multiplier effect.

Pada saat yang sama, produk olahan dari tembakau yaitu rokok juga memiliki dampak negatif bagi masyarakat karena merupakan faktor penyumbang tingginya angka penderita penyakit tidak menular akibat merokok.

Rokok juga mengakibatkan kerugian ekonomi, terutama pada keluarga berpenghasilan rendah.

“Isu lainnya yang patut mendapat perhatian dari pemerintah ialah peranan komoditas tembakau ini juga menyebabkan neraca perdagangan yang negatif untuk Indonesia dikarenakan nilai impor tembakau lebih tinggi daripada nilai ekspor kita,” ujar dia.***

Baca Juga: Lion Buka Rute Jakarta-Banyuwangi Berkapasitas 189 Kursi

 

Sumber: Pikiran-rakyat.com dengan judul Target Penurunan Prevalensi Perokok Tidak Diikuti Kebijakan Memadai

Editor: Dian Effendi

Sumber: Pikiran-Rakyat.com

Tags

Terkini

Terpopuler