“Kebijakan pariwisata ini menjadi umberella bagi pembangunan di Banyuwangi. Dimana, tidak hanya Dinas Pariwisata yang mengurusnya. Tapi, semua SKPD juga turut serta mengambil peran untuk mewujudkan hal tersebut,” ungkap Ipuk.
Dengan kebijakan tersebut, lanjut Ipuk, maka pertumbuhan wisata di Banyuwangi dapat dicapai dengan cukup baik. “Pertumbuhan pariwisata tersebut berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan dan penurunan angka kemiskinan,” tegasnya.
Ipuk lalu mencontohkan bagaimana Banyuwangi konsisten melarang berdirinya hotel melati baru, dengan alasan memproteksi iklim usaha rakyat. Kebijakan ini mengafirmasi tumbuhnya homestay-homestay di desa yang dikelola oleh warga.
“Dengan cara tersebut, secara perlahan ekonomi di daerah mulai bergeliat. Kunjungan wisatawan Banyuwangi dari tahun 2010 sekitar 670 ribu, kini terus melonjak tajam. Bahkan pada tahun 2018 dan 2019 sempat tercatat 5 juta wisatawan berlibur ke Banyuwangi. Pendapatan perkapita rakyat Banyuwangi yang semula tahun 2010 Rp 20,86 juta per tahun kini (2023) menjadi Rp 53,87 juta per tahun,” papar Ipuk.
Baca Juga: Ribuan Masyarakat Banyuwangi Gelar Sholat Istisqa, Bupati Ipuk: Melengkapi Ikhtiar
“Dan hal ini juga berdampak pada pengurangan kemiskinan di Banyuwangi. Bila pada tahun 2010 tercatat 11,25 persen, kini angka kemiskinan Banyuwangi 7,34 persen (2023). Ini adalah terendah dalam sejarah Banyuwangi,” imbuhnya. (*)