Si Hati yang Patah

- 19 Februari 2020, 22:16 WIB
Tarian Merah/
Tarian Merah/ /Ndix Endix

Sahdan di tepian sebuah kota itu, malam selalu hidup dengan perjamuan. Seseorang bercerita perihal kenangan. Pada sebuah senja, seseorang merasa cemas. Pemerintah memperlebar jalan raya. Jalan-jalan digali, ditimbuni bebatuan, kemudian diaspal. Ia sedih melihat kenangannya terkubur di aspal jalan itu. Perihal gerimis. Dan gadis manis yang menangis. Tetapi apakah pemerintah mengerti, ada cerita yang telah terkubur di bawah jalan raya itu? Diaspal. Terkunci di sana selama-lamanya. Di bawah panas. Juga hujan yang tertawan. Ia berharap aspal jalan itu jebol, mencekung, kemudian air hujan menggenang di situ. Agar ia dapat melihat kembali kenangannya menyelinap di celah jalan yang jebol itu, berkilau-kilau diterpa cahaya matahari senja hari. Lalu kembali menghijaulah nama-nama di dalam dadanya, seolah berlari bagai sedia kala, dan pertemuan pertama yang tak pernah disengaja. Surat-surat yang wangi. Cinta yang tak bertanya. Sunyi tak jadi.

Kesepian itu memasuki relung terjauh dalam jiwa. Kota-kota menyediakan segalanya. Tetapi tak pernah mengerti kesunyian purba yang membawa derita dari hasrat untuk menguasai. Masih ada prosa musim hujan. Juga malam yang diam. Kenangan. Jalanan tua. Gedung-gedung berlumut milik orang Tionghoa. Dan wajah yang samar. Peristiwa demi peristiwa mengalir. Berganti. Dan tak kembali lagi. Orang berkhayal perihal mesin waktu. Ingin mengulangi yang telah berlalu dengan kepastian ilmu pengetahuan. Tetapi siapa sanggup merangkai tulang-belulang yang sudah hancur lalu menghidupkannya kembali? Tak ada. Selain memajang setiap rangkaian ingatan itu dalam sebuah museum yang gelap, dalam sebuah buku entah tentang apa saja dalam perpustakaan yang dingin dan berdebu. Dan nasib, kata Chairil, adalah kesunyian masing-masing. Manusia menghadapi dan bercakap-cakap dengan darinya sendiri. Diri yang purba, yang kesepian di tengah pencapaian ganjil kota-kota. Sedang hujan berjatuhan dari balik jendela. Sedang ingatan kekal dalam muskil dan samar. Seperti gerimis.

Baca Juga: Babad Desa Tambong Banyuwangi (II)

Dan kita pun ungu. Sejarah hanya ditampakkan sebagai rangkaian peristiwa, benda, dan kerangka manusia. Hari ini kita pun tak mengerti, untuk apa semua itu di antara sampah yang mengambang di sungai hitam, di mana kenangan berkilau-kilau di antara kotoran orang.

Syahril Latif mengisahkan perihal yang datang, yang pergi, yang tak kembali, yang hilang, yang dirampas waktu. Dalam ceritanya berjudul “Gank” (Horison, 1990), ia mengisahkan seorang pemuda bernama Hamzah. Mulanya ia bukan penyair. Ia jatuh cinta pada gadis paling cantik di gang itu, bernama Maryam. Tapi cintanya selalu ia tutupi. Ia selalu seolah membenci Maryam. Diam-diam sesungguhnya Maryam tahu, Hamzah memang malu-malu mencintainya. Diam-diam pula, Maryam mencintai Hamzah. Namun kedua orangtua Maryam menjodohkan Maryam dengan laki-laki anak seorang pengusaha besar di kota besar. Sebagai anak orang melarat, Maryam harus patuh, ia musti mengorbankan cintanya kepada pemuda dambaan hati yang bernama Hamzah. Tatkala Hamzah menerima undangan pernikahan dari Maryam dengan laki-laki anak orang kaya itu, Hamzah menampakkan kemurungan senantiasa. Ia berhenti kuliah. Kemudian mengekos di sebuah kota. Hamzah menulis puisi. Ia jadi penyair. Penyair yang selalu sendirian. Puisi-puisi Hamzah selalu melungsurkan kemurungan, kehilangan, muram yang durja, hati yang telah patah dan entah dengan apa harus diutuhkan lagi. Ia membawa kemurungan dan patah hatinya jauh ke sana. Jauh entah di mana.

Kisah sang penyair patah hati dalam cerita Syahril Latif itu, mengingatkan saya pada seorang penyair. Hingga senja usianya, ia tak menikah. Tak ada gadis yang dapat menjatuhkan hatinya lagi setelah jatuh hati yang pertama pada seorang gadis manis yang basah gerimis, seorang gadis yang tak berhasil dimilikinya, dan telah menjadi milik orang lain. Ia kembara ke mana saja. Dari satu kota ke kota lainnya, dari satu pertemuan ke pertemuan lainnya, dari satu tempat asing ke tempat asing lainnya, mencoba membuang bayangan kekasihnya, berupaya tiada tara melupakan segala kenangan. Tapi ia tak pernah bisa. Justru kenangan telah menjadi daya baginya menuliskan puisi-puisi pedih sepanjang jalan, hingga senja usianya. Hingga putih rambutnya. Dan tubuh yang lelah. Tapi hatinya bahagia dalam derita, membawa kenangan yang tak pernah hilang, membawa ingatan pada wajah kekasih tercinta yang tak dimilikinya. Kenangan itulah yang membuatnya tetap hidup, membawakan puisi-puisi pedih, meneriakkan kehilangan dalam pertemuan-pertemuan dan dalam kesepian, dan menjerit mempertanyakan nasib.

Baca Juga: Pengaruh Seksualitas dan Kepribadian Dalam Memilih Aroma Parfum

Alangkah agungnya cinta, bisiknya. Tetapi betapa pedihnya. Siapa gerangan dapat memulihkan luka di dalam dada? Dan dengan apa lagi hati dapat terobati? Ia membawa pertanyaan dan kenangan dalam kesendirian yang benam. Ia pahatkan gelisah jiwanya di stasiun-stasiun malam, rambutnya menggerai panjang dan sunyi.

Barangkali Shakespeare pun tak sanggup menjawab; kenapa cinta menjadi luka, dan buat apa pertemuan jika meniscayakan pada perpisahan sebagaimana dalam lagu. Lalu kenapa puisi? Mungkin Goethe benar; hanya seni yang dapat secara sempurna dan meyakinkan membawa orang untuk menghindari kehidupan. Tetapi seni pula yang paling mungkin dan paling meyakinkan membuat orang sanggup menghayati kehidupan. Konon puisi adalah penderitaan. Semakin menderita, semakin dalam segala diksi dan kata. Dengan bahasa yang tak pernah sempurna mewakilkan dirinya pada kata-kata, si hati yang patah menghayati dan melewati dunia sebagai kembara yang sendiri, yang tak pernah mengetahui di mana langkahnya akan berhenti.

Banyuwangi, Desember 2019

Halaman:

Editor: Dian Effendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah