Presiden Perancis Emmanuel Macron Kunjungi Perdana Menteri Irak untuk Berikan Dukungan

- 2 September 2020, 20:15 WIB
PRESIDEN Perancis, Emmanuel Macron yang mengunjungi Mustafa Al-Khadimi untuk memberi dukungan pada Irak
PRESIDEN Perancis, Emmanuel Macron yang mengunjungi Mustafa Al-Khadimi untuk memberi dukungan pada Irak /Ludovic Marin/Pool/AFP/AFP

RINGTIMES BANYUWANGI - Presiden Perancis, Emmanuel Macron, berjanji mendukung Iraq dan mengatakan bahwa tantangan utama yang dihadapi negara tersebut adalah pasukan negara Islam di Irak dan Levant (ISIL, atau yang dikenal juga dengan sebutan ISIS) serta intervensi dari negara lain dalam permasalahan tersebut.

"Kami di sini untuk melanjutkan dukungan kepada Irak," kata Emmanuel Macron kepada seorang wartawan di Baghdad melalui penterjemah bahasa Irak-nya, Barham Salih.

Emmanuel Macron merupakan pemimpin negara pertama yang mengunjungi Irak sejak Perdana Menteri Irak, Mustafa Al-Khadimi yang sebelumnya menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Irak menduduki kepemimpinannya pada bulan Mei lalu.

Baca Juga: Habiskan Rp732 Miliar untuk Pesta dan Boyong 150 Wanita, Gaya Liburan Ala Pangeran Arab

Ia menjabat sebagai Perdana Menteri ketiga dalam 10 minggu yang rumit, setelah beberapa bulan sebelumnya terjadi protest berdarah di negara yang lelah akibat puluhan tahun sanksi hukum, perang, korupsi serta tantangan ekonomi.

"Campur tangan asing bisa menggerogoti usaha yang Anda bangun sebagai seorang pemimpin," kata Emmanuel Macron

Menurut Emmanuel Macron, Pemerintah Irak seharusnya terus membagikan visi pemulihan kedaulatan Irak.

Baca Juga: Lirik Lagu Ice Cream dari Black Pink dan Selena Gomez dan Terjemahan Bahasa Indonesia

Ia juga menambahkan bahwa hal tersebut merupakan sebuah usaha yang sangat signifikan tidak hanya bagi Iraq, tetapi juga seluruh wilayah.

"Saya akan menyatakan kembali bahwa Perancis mendukung penuh negara Iraq serta lembaga yang ada di dalamnya." tambah Emmanuel Macron

Pemimpin Prancis tersebut diperkirakan bertemu Mustafa Al-Khadhimi selama perjalanan panjangnya yang dilakukan di tengah krisis ekonomi global serta pandemi virus corona yang menyebabkan tekanan ekonomi dan politik yang tinggi di negara Irak.

Ia juga diperkirakan bertemu Nechirvan Barzani, presiden wilayah Kurdi Utara semi-otonom.

Baca Juga: Sering Diabaikan, Lidah Mertua Jadi Salah Satu Tanaman Hias Termahal di Dunia, Berikut 4 Daftar Lain

Mustafa Al-Khadhimi dipilih oleh Anggota Parlemen pada bulan Mei lalu untuk memimpin pemerintahan yang akan mengawal negara tersebut menuju pemilihan umum pertama dan diminta agar diadakan pada bulan Juni 2021.

Sebelumnya, Irak dipimpin oleh Adel Abdul Mahdi yang mengundurkan diri akibat tekanan protes terhadap korupsi dan campur tangan asing pada Desember tahun 2019 lalu.

Pemilihan umum pertama merupakan sebuah tuntutan utama dari aktivis anti-pemerintah yang menimbulkan demonstrasi massal selama beberapa bulan.

Demonstrasi tersebut menewaskan ratusan petugas keamanan dan pasukan bersenjata yang diduga berkaitan dengan beberapa kelompok bersenjata di Irak.

Baca Juga: 10 Sifat Buruk Paling Dibenci Allah SWT, Satu di Antaranya Kezaliman Penguasa

Setelah Amerika Serikat memipin penyerbuan untuk menggulingkan mantan presiden Saddam Hussein pada tahun 2003, Irak diporak-porandakan oleh gelombang konflik sektarian yang berpuncak pada ISIS yang merebut petak-petak negara itu enam tahun lalu.

Di waktu yang sama, negara tersebut terperangkap antara dua negara sekutunya yakni Iran dan Amerika Serikat. 

Sebuah tindakan penyeimbangan yang semakin menyiksa sejak penarikan Washington pada 2018 dari kesepakatan nuklir multilateral dengan Teheran.
 
Perancis merupakan negara Eropa yang tetap menjadi pendukung utama perjanjian 2015.
 
Reporter Al Jazeera, Dorsa Jabbari, melaporkan dari Baghdad, bahwa kunjungan Emmanuel Macron merupakan langkah penting, terutama sejak Irak terperangkap di antara dua sekutunya yang tengah berselisih satu sama lain.
 
Mustafa Al-Khadhimi yang didukung oleh Amerika Serikat, menjabat pada 7 Mei ketika hubungan Baghdad dengan Washington tidak stabil.
 
Seperti para pemimpin Irak sebelumnya, dia harus berjalan di atas tali di tengah persaingan antara Amerika Serikat dan Iran.
 
Pembunuhan terhadap Jenderal Iran Qassem Soleimani dan pemimpin milisi Irak, Abu Mahdi al-Muhandis, oleh Amerika Serikat di Baghdad pada bulan Januari lalu mendorong tuntutan legislator Syiah agar pasukan Amerika Serikat meninggalkan Irak.
 

Mustafa Al-Khadimi mengunjungi Washington bulan lalu, dimana ia mengadakan pembicaraan dengan Presiden Donald Trump.

Ia mengatakan, pemerintahannya berkomitmen untuk mengenalkan reformasi keamanan ketika kelompok milisi penghianat melakukan serangan hampir setiap hari terhadap kursi pemerintahannya.

Krisis lain, bagi Mustafa al-Kadhimi, termasuk pemotongan kas negara di negara yang bergantung pada minyak mentah itu menyusul penurunan harga yang parah, menambah kesengsaraan ekonomi yang sudah berjuang di tengah pandemi.***

 

Editor: Dian Effendi

Sumber: Al Jazeera


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah