RINGTIMES BANYUWANGI - Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa diketahui telah melarikan diri ke Singapura dan mengirim surat pengunduran diri pada hari Kamis, 14 Juli 2022. Kantor Ketua Parlemen Sri Lanka, memverifikasi “keaslian dan legalitas” dokumen tersebut.
Sebelumnya memang Gotabaya memang dikabarkan akan melarikan diri dari Sri Lanka dan mencari perlindungan di dua pulau yang terpilih, setelah protes massal anti-pemerintah meningkat pesat akhir pekan lalu.
Pada Rabu pagi menurut Kementerian Luar Negeri Sri Lanka, Gotabaya sempat diterbangkan ke Maladewa dengan pesawat militer Sri Lanka dan mencapai Singapura pada Kamis malam.
Baca Juga: KRISIS! Warga Sri Lanka Tunggu Di Kediaman Presiden dan Perdana Menteri untuk Segera Turun
Gotabaya diizinkan masuk ke Singapura dalam kunjungan pribadi dan tidak meminta suaka dan juga tidak diberikan suaka oleh setempat.
Setelah resmi menyatakan pengunduran diri, hal ini menandakan kemenangan yang gemilang dari hasil jerih payah protes warga selama berbulan-bulan yang lalu.
Pada saat itu masyarakat anti-pemerintah Sri Lanka demo dengan mengatakan kepada Presiden Gotabaya dan jajaran bawahannya untuk 'segera pulang', akibat dianggap tidak mampu mengambil tanggung jawab atas kemerosotan ekonomi.
Kemerosotan ekonomi di Sri Lanka pada tahun ini merupakan keterpurukan terburuk negara itu sejak Kemerdekaan pada tahun 1948.
Sehingga pada hari Sabtu pekan lalu, pengunjuk rasa sudah menyerbu masuk kediaman dan kantor, di mana warga berebut barang-barang penting, di tengah hiperinflasi.
Sementara dari Negara Maladewa, Ketua Maladewa dan mantan Presiden Mohamed Nasheed mengumumkan pengunduran diri Gotabaya di Twitter, beberapa menit sebelum Ketua Sri Lanka mengumumkan menerima surat tersebut.
Media Maladewa sebelumnya melaporkan bahwa Mr. Nasheed telah menerima Mr. Gotabaya di bandara dan mengadakan pembicaraan sebelum keberangkatannya.
Baca Juga: Akibat Krisis Ekonomi di Sri Lanka, Warga Mengantre Berjam-jam untuk Dapatkan Bahan Bakar
Namun kedatangan Gotabaya tidak berjalan mulus karena banyak pengunjuk rasa di Male meminta pemerintahnya untuk tidak “menjaga penjahat”.***