Buat Apa Ada Negara Jika Rakyat Makin Sengsara

10 April 2020, 06:05 WIB
POTRET Kemiskinan.*/DOK PR /

Oleh: Ahmad Sastra*

Sebagai institusi politik, keberadaan negara adalah untuk mengurusi urusan rakyat. Negara adalah pelembagaan sistem kepemimpinan politik yang menjadi wadah bagi kepengurusan rakyat. Sistem ideologi yang diadopsi sebuah negara sangat berpengaruh kepada jati diri negara tersebut. Sebab ideologi melahirkan sistem aturan, bahkan peradaban.

Secara umum, ideologi (Arab: mabda‘) adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan sekaligus menjadi landasan bagi pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya. (M. Muhammad Ismail, 1958).

Pemikiran mendasar dari ideologi ini dapat disebut sebagai akidah (‘aqîdah), yang dalam konteks modern terdiri dari: (1) materialisme; (2) sekularisme; (3) Islam.

Akidah ini berisi pemikiran fundamental dan global mengenai manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia ini. (M. Husain Abdullah, 1990).

Baca Juga: Kondisi Terkini, Dokter Tim Persib Bandung Pastikan Pemain Sehat

Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya.

Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang disebut dengan ideologi.

Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda‘) dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22). Pada kenyataannya, di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1) Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2) Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam, yang lahir dari akidah Islam.

Negara komunis berbasis ideologi materialisme. Materialisme adalah akidah yang memandang bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan merupakan materi belaka; materi ini mengalami evolusi dengan sendirinya secara subtansial sehingga tidak ada Pencipta (Khalik) dan yang dicipta (makhluk).

Baca Juga: Innalillahi, PDP Corona Asal Kecamatan Genteng Meninggal Dunia

Dalam perspektif Karl Marx, peletak dasar ideologi Sosialisme-komunis, alam mengalami evolusi mengikuti hukum gerak materi; alam tidak membutuhkan Akal Holistik (Pencipta) (Ghanim Abduh, 2003: 3).

Senada dengan Marx, Lenin, ideolog sekaligus realisator Marxisme, dengan mengutip filosof Heraclitus (540-480 SM), menyatakan, “Alam adalah wujud tunggal yang tidak pernah diciptakan oleh Tuhan atau manusia manapun. Ia telah ada, selalu ada, dan akan selalu ada sebagai api yang terus menyala selama-lamanya.” (Vladimir Ilich, 1870-1924).

Oleh karena itu, penganut akidah materialisme pada dasarnya adalah atheis (mengingkari Tuhan).

Bahkan, penganut akidah ini memandang bahwa keyakinan terhadap Tuhan (agama) adalah berbahaya bagi kehidupan.

Baca Juga: Asia Tenggara !, Sebagai Kawasan Pengguna Aplikasi JOOX terbanyak

Dalam bahasa Lenin, keyakinan terhadap agama adalah “candu” masyarakat dan “minuman keras” spiritual.

Dalam manifesto politiknya, Lenin secara ekstrem menyebut agama sebagai salah satu bentuk penindasan spiritual yang, dimana pun ia berada, amat membebani masyarakat (Lenin, 1972: 83-87).

Pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan ini kemudian melahirkan sebuah keyakinan, bahwa dunia ini harus diatur berdasarkan prinsip dialektika materialisme yang melibatkan semua unsur materi, yakni: manusia, alam, dan sarana kehidupan (alat-alat produksi).

Dari sini muncullah negara berbasis ideologi sosialisme-komunis, yang didasarkan pada akidah materialisme, yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek kehidupan rakyat; tentu di luar aspek religiusitas dan spiritualitas manusia yang telah diingkarinya.

Baca Juga: Moral Covid-19

Hidup di negara komunis tentu penuh kesengsaraan karena penuh tekanan dari negara. Rakyat tak ubahnya hanya sebagai materi belaka, maka tidak ada kebahagiaan batin yang dirasakan. Sebab kebutuhan manusia akan tuhan adalah bersifat naluriah, jika tidak terpenuhi, maka akan sengsara.

Prinsip sama rata sama rasa juga adalah utopia belaka, sebab setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Peraturan yang sangat ketat atas segala sesuatu membuat rakyat di negeri komunis penuh dengan tekanan. Hidup tanpa ruh, nilai dan etika akan membuat rakyat melakukan apa saja yang diinginkan.

Justru di sinilah letak malapetaka ideologi komunis bagi kehidupan rakyat. Jadi untuk apa ada negara komunis, jika membuat sengsara rakyat.

 

*Dosen Filsafat Universitas Ibnu Khaldun Bogor

Editor: Dian Effendi

Sumber: hajinews.id

Tags

Terkini

Terpopuler