Mengapa UU Cipta Kerja Tidak Menciptakan Lapangan Kerja tapi Memperkuat Oligarki

- 17 Oktober 2020, 09:48 WIB
Massa aksi yang tergabung dalam Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SMRI) melakukan aksi teatrikal saat berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja di kawasan Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (16/10/2020). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.
Massa aksi yang tergabung dalam Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SMRI) melakukan aksi teatrikal saat berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja di kawasan Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (16/10/2020). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj. /

Oleh: Aulia Nastiti

Pandemi COVID-19 dan demonstrasi tak menyurutkan langkah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkankan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. Meski sempat berjanji untuk menunda, pemerintah justru mengebut penyusunan aturan kontroversial ini, bahkan saat DPR sedang reses.

Proses politik yang problematik dan tidak transparan tentu mengundang pertanyaan. Gelombang penolakan terus muncul menyusul pengesahan UU Cipta Kerja yang memukul mundur hak pekerja. Pemerintah berdalih bahwa UU Cipta Kerja diperlukan untuk memulihkan perekonomian. Asumsinya, pelonggaran aturan kerja akan menarik investor masuk, yang kemudian mendorong pembukaan lapangan kerja.

Baca Juga: Waspada Saat Bercinta, 6 Penyakit Ini Ditimbulkan dari Berhubungan Intim

Celakanya, RUU Cipta Kerja tidak akan berdampak banyak untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Yang terjadi justru regulasi ini akan memperkuat oligarki atau politik mempertahankan kekayaan lewat lobi-lobi dan korupsi.

Hanya menguntungkan kalangan atas

Pemerintah mengklaim desain kebijakan ini memudahkan investasi. Namun, revisi ratusan aturan dalam Omnibus Law tidak akan mendatangkan kemudahan, tetapi justru ketidakpastian di tengah resesi . RUU Cipta Kerja juga solusi salah sasaran karena tidak menyentuh akar masalah utama yang menghambat bisnis di Indonesia, yaitu korupsi.

Pemerintah berargumen bahwa investasi adalah kunci dalam menciptakan lapangan kerja. Sayangnya, data realisasi investasi mengindikasikan bahwa akar masalah pengangguran di Indonesia bukan karena kurang suntikan modal. Analisis ekonom Faisal Basri pun menyebutkan bahwa performa investasi di Indonesia cukup baik. Terbukti dari investasi yang terus naik, tetapi serapan tenaga kerja justru turun.

Baca Juga: Keutamaan Sholat Subuh, Sebagai Sumber Cahaya di Hari Kiamat

Untuk menjawab mengapa investasi di Indonesia tidak berdampak pada pembukaan lapangan kerja dan perbaikan nasib pekerja, yang perlu dipertanyakan bukan bagaimana menarik investasi, tetapi ke mana modal mengalir.

Data terbaru Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengkonfirmasi bahwa sektor manufaktur yang pernah menjadi andalan kini digantikan oleh sektor jasa atau sektor tersier yang makin mendominasi. Sektor jasa yang paling banyak menyerap modal adalah konstruksi, transportasi, telekomunikasi, dan jasa keuangan/perbankan.

Aliran modal di Indonesia punya dampak berbeda dalam dua arah: merugikan ke bawah dan menguntungkan ke atas.

Baca Juga: Ingin Terhindar dari Neraka, Amalkan Doa Ini Agar Selamat Dunia dan Akhirat

Bagi pekerja kelas menengah ke bawah, tren ini cenderung merugikan.

Pertama, sektor jasa merupakan industri padat modal, bukan padat karya – artinya minim penyerapan tenaga kerja.

Kedua, kualitas relasi kerja di sektor jasa – terutama bagi pekerja yang minim keahlian dan daya tawar pasar – juga cenderung buruk mengingat sektor ini sarat dengan penggunaan outsourcing, penggunaan tenaga kontrak tanpa batas, dan pemecatan sewaktu-waktu. Perlindungan hak pekerja juga minim, salah satunya karena gerakan serikat pekerja dalam sektor ini tidak sekuat di sektor manufaktur.

Baca Juga: Susu apa yang paling ramah lingkungan? Ini hasil riset kami

Salah satu contohnya adalah Gojek dan Grab. Perusahaan aplikasi disorot sebagai primadona dalam menggenjot investasi di Indonesia serta diklaim sebagai solusi membuka lapangan kerja.

Klaim demikian mengabaikan fakta bahwa bisnis inimengaburkan relasi kerja antara pengemudi dan perusahaan. Akibatnya, pekerja tidak punya perlindungan hukum. Kontrak dapat diputus sewaktu-waktu, pemasukan tidak pasti karena tarif dan kebijakan perusahaan terus berubah, serta tidak ada kesempatan untuk upskilling atau peningkatan keahlian.

Akhirnya, investasi yang terus naik tidak berdampak bagi perbaikan lapangan kerja baik secara kuantitas maupun kualitas di Indonesia. Apalagi jika kita bandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara, rata-rata pendapatan riil bulanan yang diterima pekerja di Indonesia masih paling rendah.

Baca Juga: Surat Al Fajr Ayat 1-30 Arab, Latin, dan Terjemahan Bahasa Indonesia

Sebaliknya, yang paling diuntungkan dari kenaikan investasi di Indonesia adalah aktor kelas atas, terutama konglomerat dan politikus yang telah mendominasi tatanan kelas sosial-ekonomi di Indonesia.

Dana investasi paling banyak mengalir ke proyek konstruksi infrastruktur dan bangunan, serta sektor listrik, gas, air, telekomunikasi, transportasi, dan keuangan.

Di luar sektor jasa, investasi di Indonesia juga mengalami kenaikan di sektor komoditas perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Investasi di bidang kehutanan bahkan mengalami peningkatan lebih dari 15 kali lipat dalam lima tahun (2014-2019).

Baca Juga: Terancam Bangkrut, Kisah Aburizal Bakrie Mantan Orang Terkaya RI

Bisnis dalam sektor-sektor tersebut identik dengan perilaku memburu rente (rent-seeking). Alih-alih mengandalkan penciptaan nilai tambah baru (capital-generating) melalui produksi dan penggunaan tenaga kerja, bisnis pemburu rente mengejar keuntungan dengan cara utama melakukan produksi serta memanipulasi penyaluran sumber daya ekonomi lewat transaksi politik dengan penguasa, misalnya kongkalikong tender, perizinan, atau konsesi lahan.

Akibatnya, oligarki makin menguat.

Indikasi suburnya oligarki terlihat dari harta kekayaan lima puluh konglomerat terkaya di Indonesia yang justru meroket saat ekonomi negara melambat. Sebagian besar pundi-pundi mereka berasal dari bisnis pemburuan rente dan koalisi dengan politisi.

Baca Juga: Delapan Jenis Tanaman Pembawa Hoki Menurut Fengshui dan Primbon Jawa

Pertalian kepentingan antara pejabat dan konglomerat juga makin erat karena hampir separuh anggota DPR periode 2019-2024 adalah pengusaha, pemegang saham, komisaris, hingga direksi di lebih dari seribu perusahaan yang mendominasi aliran investasi di Indonesia.

Kebijakan yang mendatangkan petaka

Kondisi ini bukan berarti investasi di sektor jasa selalu buruk. Tidak dipungkiri, aliran modal memang diperlukan untuk pembangunan. Yang menimbulkan bahaya adalah pertumbuhan aliran modal yang dilandasi pelemahan kelas pekerja dan penguatan oligarki.

Berbagai kajian dan diskusi publik telah menjabarkan poin-poin Omnibus Law yang berdampak buruk bagi pekerja. Namun, penciptaan Lembaga Pengelola investasi (LPI) yang diatur dalam UU Cipta Kerja belum banyak disoroti.

Baca Juga: Dituntut 6 Bulan Penjara, Vanessa Angel: Semoga Tak Dipisahkan Dengan Anakku

Lembaga baru ini digadang akan memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan dan mengontrol aliran dana investasi. Akuntabilitas dan audit Lembaga ini tidak dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tetapi oleh kantor akuntan publik.

Dewan pengawas dan pimpinan lembaga ini akan diisi oleh pejabat, seperti Menteri Keuangan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan dipilih oleh presiden.

Hadirnya Lembaga seperti ini patut dikhawatirkan karena justru mengendurkan kontrol terhadap politik oligarki yang melandasi alokasi dana investasi, apalagi jika LPI ini menjadi sumber “dana non-budgeter” yang rawan korupsi dan minim transparansi.

Baca Juga: ShopeePay Day Digelar 15 Oktober Hadirkan Solusi Belanja Hemat Sambut Shopee 11.11 Big Sale

Disahkannya UU Cipta Kerja makin melengkapi berbagai revisi aturan yang sebelumnya telah dilakukan untuk melemahkan rakyat dan menguatkan oligarki.

Tentu masih segar di ingatan kita bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan lewat revisi UU KPK tahun lalu, disusul dengan revisi UU Minerba awal tahun ini yang memperkuat jejaring oligarki tambang.

Omnibus Law kluster lingkungan makin memudahkan eksploitasi dan penguasaan lahan.

Baca Juga: Ini Dia Top Go-To Merchant Baru ShopeePay yang Bermanfaat untuk Kamu!

Alih-alih memperbaiki ekonomi, Omnibus Law justru memperparah konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang dengan cara mengkonsolidasikan kekuatan oligarki.

*) Ph.D Student in Political Science, Northwestern University

Aulia Nastiti tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.

Editor: Dian Effendi

Sumber: The Conversation


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x