Baca Juga: Pahitnya Kehidupan
Betapa rapuhnya, sehingga ia harus mengabadikan jejak rindu pada prasasti, penanda-penanda waktu dan peristiwa, dinding, bangunan, kekuasaan, dan pencapaian tertinggi yang tak boleh ditandingi. Ribuan tahun atau mungkin setelah dihantam keganasan alam---kita tahu, jejak-jejak itu menjadi samar berdebu. Jadi narasi kesepian kita dari masa ke masa. Sesuatu yang semakin hari semakin susah sekali untuk sekadar dikenali. Orang pun “pangling” pada dirinya sendiri. Dari segala-galanya itu, yang tersisa hanya dongeng perihal kejayaan dan kegagahan yang tak lagi ada, kebanggaan-kebanggaan gombal yang tersisa hanya dalam romatisme cengeng yang memuakkan, tak lagi bernyawa, dan keluh di dalam bisu.
Baca Juga: Rindu Jejak Mu
Sanggupkah ia---dengan meraih segala sepuncak-puncaknya, memunguti nilai-nilai yang berantakan oleh kehendak-kehendak yang tak menjejak? Orang pun tak habis mengerti, kenapa ia tak bisa mewujudkan diri---sebagaimana dalam sajak Chairil Anwar, dengan “hidup seribu tahun lagi”? Pertanyaan-pertanyaan pun terjerembab dalam kompetisi ekonomi yang tak mengenali derita dan nasib yang kalah dan dilemahkan. Tuhan dan agama cuma omong kosong, menjadi dongeng usang yang tak pernah menyelesaikan lambung kelaparan. Dan jejak kerinduan, makin benam, kelam, gelap, dan terasing jauh. Jauh sampai tak tahu.
Siti Inggil, 2020