Penyebab Masyarakat Jawa Menganggap Sakral Bulan Suro

20 Agustus 2020, 08:15 WIB
Malam 1 Suro /PortalJember.com//PortalJember.com

RINGTIMES BANYUWANGI - Bulan Muḥarram (Suro) adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah, yang penghitungannya didasarkan peredaran bulan (Qamariyyah).

Penanggalan ini digunakan secara resmi di masa pemerintahan Kholifah Sayyidina Umar bin Khattab Ra, yang mulai menghitung tahun semenjak hijrah nabi Muhammad SAW dari Makkah menuju Madinah 1442 tahun silam.

Kaum Muslim menjadikan momentum tahun baru Hijriah tersebut sebagai bahan renungan bersama untuk mengingat peristiwa hijrahnya nabi Muhammad beserta pengikutnya dari Makkah menuju Madinah.

Baca Juga: 5 Peluang Usaha di Desa yang Menguntungkan

Secara historis masyarakat Jawa telah mengenal ritual malam satu Suro sejak masa pemerintahan Sultan Agung, Raja mataram Islam yang memadukan antara kalender Saka dan Hijriah (Fahmi Suwaidi dan Abu Aman, 2011).

Dikutip ringtimesbanyuwangi.com dari berbagai sumber, mayoritas masyarakat Jawa meyakini bahwa mengadakan acara hajatan atau acara penting lainnya pada bulan Suro perlu dihindari karena akan ditimpa kesialan.

Dalam persepsi Islam bulan sial seperti Suro tentu tidak ada. Semua hari adalah baik dan tidak ada waktu atau tanggal yang bisa membawa kesialan pada manusia.

Baca Juga: Alasan ditundanya Pembukaan Sekolah

Munculnya kepercayaan tentang bulan Suro sebagai bulan sial, hal ini tidak lepas dari latar belakang sejarah zaman kerajaan tempo dulu.

Munculnya kepercayaan tentang bulan Suro sebagai bulan sial, hal ini tidak lepas dari latar belakang sejarah zaman kerajaan tempo dulu.

Pada zaman dahulu di bulan Suro sebagian keraton di pulau Jawa mengadakan ritual memandikan pusaka keraton.

Baca Juga: Kisah Cinta Sembilan Istri Soekarno, Satu yang Setia Menemaninya Hingga Wafat

Ritual menjamas pusaka keraton pada zaman dahulu menjadi sebuah tradisi yang menyenangkan bagi masyarakat yang memang masih haus akan liburan.

Sehingga dengan kekuatan karisma keraton dibuatlah stigma tentang „angker‟ bulan Suro.

Jadi pada bulan Suro, ketika rakyat mengadakan hajatan khususnya pesta pernikahan, dapat mengakibatkan sepinya ritual yang diadakan keraton, yang pada saat itu merupakan sumber segala hukum.

Tradisi memandikan keris dan pusaka ini juga menjadi ajang untuk memupuk kesetiaan rakyat kepada keraton.

Baca Juga: Analisis Gaya dan Jenis Kepemimpinan Soekarno

Mitos tentang keangkeran bulan Suro ini demikian kuat dihembuskan, agar rakyat percaya dan tidak mengadakan kegiatan yang bisa mengganggu acara keraton.

Dan hingga kini kepercayaan tersebut masih demikian kuat dipegang oleh sebagian orang, sehingga sebagian orang yang pada bulan Suro tidak berani mengadakan acara tertentu karena dianggap bisa membawa sial.

Namun bagaimanapun juga kepercayaan akan malam 1 Suro dan bulan Suro masih mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Segala ritual yang dilakukan di malam 1 Suro seolah menjadi tradisi unik yang dimiliki dan dipercayai masyarakat Jawa yang kaya budaya adi luhung.***

Editor: Dian Effendi

Tags

Terkini

Terpopuler