Akan tetapi, cinta Sang Raja ditolak mentah-mentah dan Sri Tanjung tetap teguh pendiriannya, sebagai istri yang selalu berdoa untuk suaminya. Berang dan panas membara hati Sang Raja ketika cintanya ditolak oleh Sri Tanjung.
Baca Juga: Sejarah Kopi Arabika dan Robusta, Mendunia dari Afrika
Sepulang sang Patih Sidopekso dari tugasnya, ia langsung menghadap Sang Raja. Akal busuk Sang Raja pun muncul, memfitnah Sri Tanjung dengan menyampaikan bahwa sepeninggal Sang Patih pada saat menjalankan titah raja meninggalkan istana, Sri Tanjung mendatangi, merayu serta bertindak serong dengan Sang Raja.
Dengan amarah yang melonjak dan tanpa berfikir panjang, Patih Sidopekso langsung menemui Sri Tanjung sembari mencecari sang istri dengan tuduhan yang tidak beralasan.
Pengakuan Sri Tanjung yang lugu dan jujur tak mampu membuat hati Patih Sidopekso luluh, namun semakin panas menahan amarah dan bahkan Sang Patih dengan berangnya mengancam akan membunuh istri setianya itu. Diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh.
Baca Juga: Kronologi 1 Juni Diperingati Hari Lahir Pancasila bagi Indonesia
Akan tetapi, sesaat sebelum Patih Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir dari Sri Tanjung kepada suaminya, sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiannya ia rela dibunuh dan agar jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu.
Ia berpesan, apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dirinya telah berbuat serong, tapi jika air sungai berbau harum maka ia tidak bersalah.
Tak lagi mampu menahan diri, Patih Sidopekso segera menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Darah memercik dari tubuh Sri Tanjung, seketika ia menghembuskan nafas terakhirnya.