3 Cara Membedakan Perilaku Toxic Positivity vs Genuine Optimism

27 Juni 2022, 21:40 WIB
Ilustrasi, Toxic Positivity /Pexels by Kat Smith/

RINGTIMES BANYUWANGI- Sebagian orang mungkin tidak menyadari perbedaan apakah dia sedang melakukan Toxic Positivity atau Genuine Optimism.

Toxic Positivity adalah pemikiran yang melibatkan mengabaikan emosi negatif sepenuhnya dalam keadaan apapun, tanpa memikirkan dan merasakan kepahitannya. hal ini tentu saja dapat menyebabkan empati.

Sedangkan Genuine Optimism adalah sikap atau pikiran seseorang yang menanggapi masalah sebagai sesuai yang positif, tanpa membuang perasaan atau emosi negatif yang dimiliki ketika masalah tersebut muncul.

Dilansir dari akun Instagram @doodledwellness pada 27 Juni 2022, Amy Tran seorang ahli psikologi membagikan 3 Cara Membedakan perilaku Toxic Positivity vs Genuine Optimism.

Baca Juga: Cara Alami Menurunkan Kolesterol, Super Cepat dan 100 % Terbukti

Perilaku Toxic Positivity

Pertama, cenderung hanya melihat dari sisi terangnya atau positifnya saja, biasanya dapat di lihat dengan perkataan seperti "cobalah liat sisi positifnya" atau "aku harus berhenti terpuruk dan bersedih" dan perkataan lainnya yang hanya berfokus pada sisi positif.

Kedua, menyangkal kelemahan dan keterpurukan dan menyepelehkan kesusahan diri sendiri, perkataan seperti "hal itu tidak boleh mempengaruhiku, aku lebih kuat dari ini" atau "orang lain memiliki keadaan yang lebih buruk dari aku" dan semacamnya.

Ketiga, pola pikir harus bahagia dan memaksa diri untuk terhubung dengan energi negatif. pemikiran seperti "pikirkan hal-hal yang menyenangkan" atau "aku harus lebih banyak mengisi diri dengan energi positif".

 Baca Juga: Masalah Penularan Infeksi HIV AIDS Perlu Diperhatikan di Indonesia

Perilaku Genuine Optimism

Pertama, tak hanya meilihat sisi baiknya (positif) nya saja, namun juga dapat melihat sisi buruk (negatif) suatu keadaan tersebut.

perkataan seperti "sangat sulit melihat situasi ini sebagai sesuatu yang positif sekarang, tapi aku akan mencoba melakukan apa yang aku bisa sekarang" atau "keadaan baik dan buruk akan datang silih berganti dalam hidup, aku akan berusaha menerima semuanya dan lebih berusaha membaik".

Kedua, tidak menyangkal keadaan atau perasaan kesusahan dan terpuruk tersebut sambil berusaha melihat sisi baik (positif) nya. 

Baca Juga: 7 Karbohidrat yang Dianjurkan Ahli Gizi untuk Penderita Diabetes

Misalnya berpikir, "aku kuat dan aku tau ini akan berdampak padaku tapi aku percaya bahwa aku bisa menghadapi ini" dan "ini adalah hal menyedihkan, namun aku akan berusaha memahami kesedihanku dan memberikan ruang untuk bersyukur pada apa yang masih kumiliki".

Ketiga, tidak memaksa diri untuk selalu bahagia, tergambar dalam pikiran "sekarang sangat susah untuk memikirkan hal yang membahagiakan karena keadaan menjadi sulit, tapi aku dapat mencoba hal baik di situasi sekarang ketika aku telah memahami semua luka ku".

Mungkin kita telah melakukan toxic positivity pada diri kita dan orang lain, adalah hal baik melihat suatu keadaan sebagai sesuatu yang positif. Namun keadaan terpuruk seperti ketika putus cinta, bercerai, kehilangan keluarga atau keadaan terpuruk ekstrim lainnya, normalnya manusia perlu merasakan tahap kesedihan. 

Baca Juga: 4 Tips Dan Tutorial Mengaplikasikan Makeup Terbaik Pada Kulit Berminyak

Perasaan sedih tersebut yang membantu menghadapi situasi buruk, asalkan tidak terus menerus dan berdampak buruk untuk kehidupan diri sendiri dan orang di sekitar.***

Editor: Al Iklas Kurnia Salam

Tags

Terkini

Terpopuler