RUU juga memberdayakan penjaga pantai untuk membuat zona eksklusi sementara sesuai kebutuhan untuk menghentikan kapal dan personel lain yang masuk.
Baca Juga: China Berikan Teori Bahwa Covid-19 Berasal dari Luar Negeri, Bukan Wuhan
Menaggapi hal ini, juru bicara kementerian luar negeri China, Hua Chunying mengatakan bahwa undang-undang tersebut sejalan dengan praktik internasional.
Dijelaskan pada pasal pertama RUU tersebut, bahwa undang-undang itu diperlukan untuk menjaga kedaulatan, keamanan, dan hak maritim Tiongkok.
Namun, langkah terbaru China ini dapat memperumit hubungannya dengan AS, yang mempertahankan aliansi strategis dengan beberapa negara Asia-Pasifik, termasuk Jepang, Filipina, Vietnam, dan Indonesia, yang memiliki klaim maritim yang bersaing dengan Beijing.
Baca Juga: AS Jatuhkan Sanksi Kepada 6 Pejabat Pro-China atas Penangkapan Massal di Hong Kong
Christian Le Miere, seorang analisis diplomasi maritim mengatakan dalam sebuah postingan di media sosial, bahwa undang-undang baru itu “menyerang jantung” dari kebijakan kebebasan navigasi AS di Laut China Selatan.
Pengadilan Internasional di Den Haag telah membatalkan klaim sembilan garis putus China, yang menegaskan kendali sebagian besar Laut China Selatan.***