Peneliti Nyatakan Wanita di Bawah 40 Tahun Lebih Rentan Alami Anosmia

- 19 Mei 2020, 12:05 WIB
/

 

RINGTIMES BANYUWANGI - Para ahli telah menemukan bahwa perempuan muda memiliki kemungkinan lebih tinggi menderita gejala baru dari virus corona yakni anosmia.

Mereka menyebutkan, wanita berusia 30-an dan 40 tahun melaporkan kehilangan indra penciuman dan perasa, lebih sering daripada yang lain.

Hal tersebut terjadi ketika kehilangan indera perasa dan penciuman masuk kedalam gejala virus corona secara resmi.

Baca Juga: Pusat Perbelanjaan di Jabar Kembali Ramai, Begini Ungkapan Para Ahli

Setelah berminggu-minggu para ahli pertama kali menyampaikan kekhawatiran bahwa kasus COVID-19 tidak ditemukan.

Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari laman The Sun, berdasarkan panduan baru yang keluar dari kepala petugas medis Inggris (NHS), mereka yang menderita anosmia yang merupakan nama klinis dari kehilangan indera penciuman atau perasa harus mengasingkan diri selama tujuh hari.

Sampai sekarang, hanya orang-orang dengan demam dan batuk terus menerus yang diminta untuk mengisolasi diri dan diizinkan untuk dites di Inggris.

Baca Juga: WHO Peringatkan, Penyemprotan Disinfektan Berbahaya Bagi Kesehatan

Namun, sekarang mereka yang kehilangan indera perasa dan penciuman bisa mendapatkan pemeriksaan virus corona.

Menanggapi laporan anekdotal awal orang kehilangan indera penciuman atau rasa, maka kemudian survei international diluncurkan.

 

Para ahli dari Global Consortium fot Chemosensory Research (GCCR) mengatakan bahwa mereka terkejut menemukan bahwa lebih banyak wanita berusia 30 dan 40 tahun yang melaporkan gejala tersebut.

Baca Juga: Meski Sudah Sembuh, Paru-paru Pasien Covid-19 Rusak? Cek Faktanya

Seperti kami kutip dari artikel berjudul Peneliti Sebut Wanita di Bawah 40 Tahun Lebih Rentan Alami Anosmia, Gejala Baru COVID-19

"Kami mengumpulkan data tentang COVID-19 dari orang-orang di 50 negara di seluruh dunia, dan itu semua menunjuk pada fakta bahwa kehilangan penciuman adalah gejala," ujar pakar penciuman profesor Carl Philpott dari University of East Anglia, Inggris dan salah satu anggota peneliti.

Ia juga mengungkapkan bahwa mereka telah menemukan bahwa hal tersebut telah memengaruhi beberapa demografi, seperti wanita berusia 30-an dan 40-an.

"Ini berbeda dengan apa yang biasanya kita lihat ketika orang datang dengan anosmia yang diikuti dengan virus yang cenderung  berada dalam kelompok usia yang lebih tua, lebih umum berusia 60-an dan 70-an," tuturnya.

Baca Juga: Acungkan Parang, Bandit Motor di Surabaya Ditembak Mati

Dalam penelitian dan dari banyak pusat lain menunjukkan bahwa bagi sebagian orang, itu bisa menjadi satu-satunya gejala atau disertai dan mendahului gejala ringan lainnya.

Prof Philpott menyambut kenyataan bahwa gejala tersebut sekarang telah ditambahkan ke daftar resmi.

Namun, menunjukkan bahwa jauh lebih lambat dari rekan-rekan Eropa lainnya dan setidaknya dua minggu setelah WHO menambahkannya di dalam daftar mereka.

Baca Juga: Kabar Baik, Subsidi Listrik Diperpanjang Sampai September 2020

Timnya berharap bahwa orang akan terus mengambil bagian dari survei mereka agar dapat mengumpulkan lebih banyak bukti mengenai prevalensi virus dalam populasi.

"Jika cukup banyak orang yang dapat memberi tahu kami tentang kehilangan bau atau rasa yang tiba-tiba, ini akan memberikan petunjuk penting yang dapat menjadi bagian dari kisah tentang prevalensi virus dalam populasi - informasi yang dapat diambil pemerintah sebelum pengujian antibodi massal tersedia," ujar Prof Barry Smith, dari University of London dan pemimpin Inggris untuk GCCR.

Wakil kepala petugas kesehatan Inggris, profesor Jonathan Van-Tam, mengatakan bahwa langkah itu mengartikan kasus di mana orang yang memiliki gejala sekarang meningkat menjadi 94 persen.

Baca Juga: Dipicu Hasil Positif Vaksin Covid-19, Harga Minyak Melonjak

Itu terjadi setelah sebuah studi yang dipimpin oleh Profesor Tim Spector dari King's College London menemukan bahwa 59 persen pasien positif COVID-19 melaporkan kehilangan bau dan rasa, dibandingkan dengan hanya 18 persen dari mereka yang dites negatif untuk penyakit ini.

Hasil ini jauh lebih kuat dalam memprediksi jika seseorang memiliki virus corona daripada jika mereka melaporkan demam.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat hilangnya bau dan rasa sebagai 'gejala yang kurang umum' beberapa minggu lalu dan negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat, telah menambahkan gejala tersebut.

Baca Juga: Jelang Lebaran, Sidang Isbat 1 Syawal 1441 H Akan Digelar Jumat, 22 Mei 2020

Terlepas dari peringatan ini, Prof Van-Tam mengatakan pada 3 April 2020 lalu bahwa Kelompok Penasihat Ancaman Virus Pernafasan Baru dan Berkembang (Nervtag) telah melihat masalah ini dan menyimpulkan bahwa hilangnya bau atau rasa tidak boleh ditambahkan ke daftar gejala di Inggris.

Namun pada hari Senin 18 Mei 2020 kemarin, pedoman itu diubah, dengan Prof Van-Tam mengatakan para penasihat perlu melihat masalah ini secara rinci.

Dia mengatakan para ilmuwan harus 'bekerja dengan sangat hati-hati' bagaimana hilangnya rasa atau bau dalam menghitung kasus dan di mana dalam perjalanan suatu penyakit gejala mungkin terjadi.(Penulis: Galih Ferdiansyah) 

Baca Juga: Viral! Pasien Reaktif Covid-19 Pilih Kendarai Motor Daripada Naik Ambulans

Editor: Galih Ferdiansyah

Sumber: Pikiran-Rakyat.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah