Kisah Miris Pembela HAM, Membela Hak Banyak Orang Tanpa Jaminan Perlindungan Negara

8 Mei 2021, 19:25 WIB
Pembela HAM yang membela hak-hak rakyat sering mendapatkan perlakuan kriminalisasi maupun tindak kekerasan, tanpa jaminan perlindungan. /Pixabay/geralt/

RINGTIMES BANYUWANGI - Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu perkara yang tidak mudah untuk dilakukan, baik bagi perorangan, lembaga, organisasi maupun bentuk lainnya.

Pasalnya, sebagai pembela HAM itu sendiri, mereka harus bertaruh nyawa tanpa adanya jaminan perlindungan dan keselamatan yang jelas dari negara tempat mereka membela hak rakyat kecil.

Tertuang dalam UU No 39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia, BAB VIII, Pasal 100 berbunyi "Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisispasi dalam perlindungan, penegakkan dan pemajuan HAK ASASI MANUSIA.”

Meskipun demikian, jaminan perlindungan bagi pembela HAM masih belum terpenuhi sebagaimana mestinya, hingga menimbulkan banyak kasus yang memakan korban.

Berkaca dari kasus yang sudah-sudah, diketahui telah terjadi 172 kasus kriminalisasi, persekusi, serta kekerasan terhadap pembela HAM.

Baca Juga: Komnas HAM Nilai Penutupan Mata Munarman Saat Ditangkap Densus 88 Berlebihan

Ironisnya, berdasarkan data dari Lembaga Imparsial antara tahun 2012-2020 pelaku pelanggaran HAM terhadap pembela HAM sebanyak 247 kasus, dengan pelaku terbanyak yakni 86 berasal dari pihak kepolisian.

Hal ini pun pernah dialami oleh seorang aktivis Urban Poor Consortioum (UPC) Gugun Muhamad di mana pada Januari 2021 lalu tengah berupaya membela hak tanah tempat tinggal warga kampung Lengkong.

Menurut pengakuan Gugun, menjadi aktivis pembela HAM merupakan sebuah cara hidup sebagai manusia yang memiliki pikiran dan rasa, guna membela dan memperjuangkan ketidakadilan.

"Itu seperti cara hidup, di manaun kita, dilihat situasi yang tidak beres, masa kita mau diem aja, apa bedanya kita dengan kambing? Tapi kita kan beda, kita punya otak, punya pikiran, punya rasa, kalo lihat sesuatu yang keliru masa kita diam saja," kata Gugun seperti dikutip Ringtimesbanyuwangi.com pada 8 Mei 2021, dalam video di kanal YouTube Watchdoc Documentary.

Gugun pun mengatakan pernah mendapatkan perlakuan tidak pantas dari pihak kepolisian saat tengah menjalankan tugasnya membela HAM.

Baca Juga: Ferdinand Hutahaean Minta Orang yang Berlindung Dibalik HAM Atas Kasus KKB Hengkang dari Indonesia

"Dikeroyok polisi itu setidaknya dua kali. Dua kali itu secara mengejutkan ternyata ibu-ibu yang menyelamatkan saya. Pernah juga di Jakarta ditodong senjata sama polisi, lalu pernah juga diusir preman dari suatu kampung," ujarnya .

Sebagai pembela HAM yang sering bertaruh keselamatan, Gugun mengakui dirinya takut saat membela hak-hak rakyat. Namun di lain sisi, semangat rakyat itu sendiri merupakan kekuatan terbesarnya untuk tetap membela hak-hak mereka.

Menanggapi kasus kriminalisasi yang sering didapatkan oleh pembela HAM, menurut Gugun, pembela HAM merupakan bagian yang harus mendapatkan penghormatan dari negara.

Meskipun pada kenyataannya tidak sejalan, dirinya juga menegaskan bahwa pembela HAM sebenarnya membantu negara untuk tetap dalam koridor penghormatan terhadap hak asasi manusia.

"Kriminalisasi itu diatur tidak mendapatkan perlakuan tidak sewenang-wenang, kita bukan criminal. HAM, itu kan bagian dari yang harus dihormati oleh negara, dipenuhi dan kita itu menjaga itu kan. Membantu negara supaya tetap dalam koridor penghormatan terhadap hak asasi manusia. Tapi ternyata tidak ada itu..," jelas Gugun.

Baca Juga: Dinilai Cederai HAM, PBB Soroti Pembangunan Mega Proyek Mandalika di NTB

Menanggapi banyaknya kekerasan terhadap pembela HAM, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan bahwa UU pembela HAM sebenarnya pernah di inisiasi. Bahkan sebelumnya draf UU tersebut telah diajukan ke Prolegnas.

"Undang-undang pembela hak asasi manusia dan itu pernah di inisiasi, terutama oleh Parsial, bahkan sudah punya drafnya sendiri dan pernah juga mengajukan ke prolegnas,” ungkap Choirul.

Lebih lanjut, dirinya menyebutkan ada pilihan di mana Undang-undang Hak Asasi Manusia harus berdiri sendiri, namun hal ini akan cukup berat. Untuk itu, UU HAM dimasukkan ke dalam revisi Undang-undang Hak Asasi Manusia.

Menurutnya, pilihan tersebut cukup baik, tetapi bagaimana pun juga dirinya menilai bahwa tantangan terbesar UU HAM yakni memastikan keberhasilannya.

"Bagi saya pilihannya sama-sama baik. Tapi memastikan aturan pembela hak asasi manusia dimana pun undang-undangnya mau berdiri sendiri atau masuk ke UU HAM, tantangan paling besarnya adalah memastikan itu bisa berhasil,” pungkas Choirul mengakhiri.***

 

Editor: Ikfi Rifqi Arumning Tyas

Tags

Terkini

Terpopuler