Pandemi Kembalikan Kejayaan 'Jurung', Tempat Penyimpanan Jagung Tradisional

- 23 Juni 2020, 22:14 WIB
ILUSTRASI-HARGA jagung pipilan di Majalengka sedang tinggi, hanya stok di tingkat petani tidak banyaK.*/TATI PURNAWATI/KABAR CIREBON
ILUSTRASI-HARGA jagung pipilan di Majalengka sedang tinggi, hanya stok di tingkat petani tidak banyaK.*/TATI PURNAWATI/KABAR CIREBON /TATI PURNAWATI/KABAR CIREBON/

RINGTIMES BANYUWANGI - Salah satu hikmah pandemi adalah menyadarkan kembali masyarakat Kalipuro Banyuwangi menggunakan ‘Jurung’ sebagai tempat penyimpanan hasil panen.

Jurung adalah istilah lumbung penyimpanan hasil panen masyarakat Kalipuro- Banyuwangi. Setiap rumah memiliki Jurung yang berada di dapur masing- masing.

Melalui Jurung kini masyarakat Kalipuro tidak memperjualbelikan hasil panennya. Siklus pertanian diatur oleh peraturan adat.

Baca Juga: Presiden Jokowi dan Ibu Negara Dikabarkan akan Datang ke Banyuwangi

Lingkungan Papring, Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro Banyuwangi kini menjadi kawasan satu- satunya di Banyuwangi yang berupaya menghidupkan kembali eksistensi Jurung.

Padahal sejak tahun 90-an, masyarakat setempat sudah nyaris mandek memakai Jurung. Musababnya, mereka sudah mulai mengikuti siklus tren pertanian modern.

Jagung menjadi komoditi tersebar di wilayah ini karena kondisi geografisnya. Mulanya, hasil pertanian jagung yang dihasilkan masyarakat setempat adalah jagung cilik.

Baca Juga: Mau Ngegame Tapi Budget Minim? Berikut 5 HP Snapdragon 665 Turun Harga

Namun, kini petani  setempat memakai bibit jagung keluaran terbaru, dari pabrika. Hasil jagungnya besar- besar, tapi tidak tahan dengan serangga yang menyerang ketika jagung sudah dipanen.

Alasan lainnya adalah, keharusan masyarakat setempat untuk membayar 15 persen dari hasil pertanian kepada perhutani. Lantaran lahan yang mereka tempati milik perhutani.

“Sehingga harus dijual semua hasil panen,” kata Widhy Nurmahmudy, Koordinator Komunitas Papring Kreatif.

Baca Juga: Mau Cari Tempat Kost Menjelang Kuliah?, Perhatikan Lima Hal ini

Masa pandemi seolah menjadi titik sadar masyarakat setempat untuk menggunakan Jurung. Masyarakat dihantam harga jagung yang anjlok, dari Rp 7 Ribu per kilogram menjadi Rp 3 Ribu per kilogram.

Sedangkan untuk jagung yang masih melekat dengan ‘janggel’ turun harganya dari Rp 3 Ribu ke harga Rp 1.500.

Harga tersebut merupakan harga yang ditetapkan pengepul. Ditambah lagi, selama pandemi semakin tak ada pengepul yang berkunjung untuk menawar jagung.

Baca Juga: Tiga WNI Nekat Pulang dari Malaysia Menyusuri Hutan Dinyatakan Hilang

Kini hampir seluruh masyarakat di daerah tersebut mulai menggunakan Jurung kembali. Geliat menghidupkan esensi Jurung sudah diikhtiarkan sejak 2-3 tahun belakangan oleh pemuda-pemuda setempat.

Setiap rumah memiliki satu Jurung yang terletak di dapur masing- masing. Bentuk Jurungnya berupa sebuah lahan tempat yang dibuat di atas tungku dapur (pawon).

Filosofi di balik tata letaknya yang berada di atas tungku dapur adalah, agar asap panas dari melebur ke atas dan berfungsi mengeringkan jagung.

Baca Juga: FAKTA atau HOAX, Beredar Kabar Julukan Kadrun Berasal dari PKI untuk Sudutkan Islam

Jagung yang tersimpan diatas Jurung tak perlu lagi dijemur. Jagung tersebut dapat langsung dipergunakan, baik untuk dimakan, untuk pakan ternak maupun digunakan untuk pembibitan. Melalui Jurung, jagung dapat bertahan hingga dua tahun. 

Jagung yang disipan di dalam Jurung bukan jagung yang sudah dikupas, melainkan jagung yang masih berkulit.

Uniknya lagi, masyarakat setempat meletakan jagung dengan menerapkan nilai- nilai adat. Nilai- nilai adat tersebut adalah larangan berkomunikasi dengan orang yang tengah menaikan jagung ditas Jurung.

Baca Juga: Lima Pistol Keren Produksi Pindad, Salah Satunya Cukup Disembunyikan di Tubuh

Secara filosofis hal ini bertujuan untuk menjaga status sosial dan menghargai tetangga lain yang hasil panennya lebih rendah.

Perhitungan hasil panen tidak lagi menggunakan satuan ton. Namun, penyebutannya merujuk pada hitungan satuan jagung.

“Jadi hasilnya bukan ton lagi nyebutnya. Tapi, misalnya dapat jagungnya 2.000, dihitung bijian,” tambah Widhy Nurmahmudy.

Baca Juga: Gugus Tugas Covid-19 Izinkan Pariwisata Alam Dibuka secara Bertahap

Kini ghiroh masyarakat untuk menggunakan jurung sudah mulai naik. Melalui jurung diharapkan roda ekonomi masyarakat berputar secara gotong royong.

Masyarakat yang sudah mulai kehabisan jagung sebagai makanan semi pokok bisa membeli jagung dari tetangganya.

Masyarakat diharapkan tak lagi menjalani siklus tanam-jual-beli, seolah mereka tak dapat menikmati hasil tanamnya. Padahal jika jagung tersebut dijual tanpa perantara pengepul, harganya bisa berkisar Rp 5 Ribu perkilonya.

Editor: Dian Effendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x