Tahun 1883, Sejarah Gunung Krakatau Gelapkan Dunia

8 Januari 2024, 10:20 WIB
Tahun 1883, Sejarah Gunung Krakatau Gelapkan Dunia /

RINGTIMES BANYUWANGI- Gunung Krakatau pernah membuat dunia gelap. Bencana dahsyat terjadi pada Senin, 27 Agustus 1883, pagi WIB, kala itu gunung secara administratif ada di Lampung Selatan, Provinsi Lampung, tersebut meletus dan suara dentumannya terdengar sampai ke Australia.

Letusan dahsyat yang ada di antara Pulau Jawa dan Sumatra itu bahkan membuat cuaca dunia berubah, banyak orang yang menganggap bahwa dunia akan berakhir. Hujan abu akibat erupsi gunung tersebut terasa ke berbagai negara.

Krakatau terdiri dari tiga puncak, yakni Perboewatan, Danan, dan Rakata. Perboewatan merupakan puncak paling utara dan paling aktif, sedangkan Danan berada di tengah, dan Rakata merupakan yang terbesar.

Baca Juga: Sering Merasa Ingin Kencing, Kenali Penyebabnya Mulai Asupan Cairan Dan Medis

Letusan Krakatau begitu dahsyat, ledakannya berkekuatan 200 megaton bom dan menewaskan 36.000 orang lebih.

History Museum menyebut, letusan gunung api tersebut merupakan letusan mematikan dalam sejarah modern, nomor dua setelah Tambora yang terjadi pada 1815 yang menewaskan 60.000 orang.

Perjalanan Krakatau meletus bermula sejak lama, 27 Agustus 1883 merupakan puncak dari rentetan mala yang terjadi. Pada 19 Mei 1883, Perboewatan menunjukkan aktivitas vulkanik, kala itu debu membubung tinggi setinggi 7 mil di atasnya.

Baca Juga: Jatim Tegaskan Tingkatkan Kualitas Pendidikan, Khofifah:Alokasi APBD Lebih Dari 20 Persen ini Bukti Komitmen

Selanjutnya, dua bulan setelah itu ada letusan yang memuntahkan abu mencapai ketinggian sekira 6 kilometer, ledakannya bahkan terdengar Batavia Baru, kini Jakarta.

Aktivitas selanjutnya terjadi pada 16 Juni 1883, awan hitam dan ledakan keras terjadi, air pasang begitu tinggi. Kala itu, guncangan akibat gempa bumi terasa di Banten.

Kapal-kapal bahkan melaporkan ada massa batu apung yang besar ke barat Samudra Hindia. Ahad, 26 Agustus 1883, tanda-tanda mala sudah tampak.

Baca Juga: Rp13, 5 Miliar Deposito di Bank Victoria Syariah Raib, OJK Buka Suara

Langit di sekitar Krakatau kelam, suara gemuruh dikabarkan terdengar oleh awak kapal Charles Bal yang sedang berlayar di dekatnya. Hujan batu terjadi, siang itu Krakatau meraung.

Suaranya bahkan terdengar sampai 4.800 kilometer. Puncaknya terjadi pada Senin pagi, letusan diikuti tsunami, letusan gunung api tersebut mencapai sekira seperempat Bumi.

Suara ledakan Krakatau terdengar sampai ke Sydney, Australia. Selama dua hari lebih dunia gelap karena erupsi tersebut membuat abu vulkanik tertutup.

Baca Juga: Pol PP Surabaya Siap Pecat Personil Yang Kedapatan Pungli

Mala di Krakatau membuat ratusan kampung hancur. Hujan abu panas yang terjadi di Ketimbang membuat 1.000 orang tewas.

Tsunami yang menghantam juga membuat masyarakat Pulau Sebesi yang berjarak sekira 13 kilometer tak ada yang selamat, sekira 3.000 orang.

Beberapa sumber menyebut, korban erupsi Krakatau lebih dari 36.000 jiwa. Hantaman tsunami juga terasa oleh kapal yang berlayar ke Afrika Selatan, jenazah korban terapung hingga berbulan-bulan setelah kejadian.

Baca Juga: Kebanyakan Overthinking, Dapat Picu Setres Dan Kesahatan Mental

Merak, Banten, bahkan   begitu terdampak akibat letusan Krakatau, beberapa sumber menyebutkan luluh lantak. Rudolph Eduard Kerkhoven (1848-1918) mengungkapkan dalam surat untuk keluarganya.

Ledakan mala Krakatau bak ledakan meriam yang berada di bawah jendela rumahnya di Gambung, dekat Ciwidey. Suhu dunia pun berubah, perubahan iklim bahkan terjadi di Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat.

Baca Juga: Pemprov Jatim Berhasil Kendalikan PMK, Khofifah:PMK Kini Tidak Berstatus Wabah

Mala yang terjadi pada 1883 itu digambarkan Edvard Munch (1863-1944) dalam lukisannya yang terkenal, The Scream, salah satu lukisan paling dikenal di dunia dan merupakan lukisan berserinya bertajuk Der Schrei der Natur.

Lukisan itu menggambarkan seseorang yang wajahnya cemas, di belakangnya langit jingga yang sangat menyala, tepat berada di atas perairan yang kelam.

Dalam catatan hariannya, Munch mengungkap inspirasi di balik karyanya itu. "Saya sedang berjalan di sepanjang jalan bersama dua orang teman – yang matahari terbenam – tiba-tiba langit berubah menjadi merah darah – aku berhenti, merasa lelah, dan bersandar di pagar – ada darah dan lidah api di atas fyord biru kehitaman dan kota – teman-temanku terus berjalan, dan aku berdiri di sana dengan gemetar dengan kecemasan–dan saya merasakan jeritan tak terbatas melewati alam," demikian kata Munch, dikutip The Vintage News, diakses 8 Januari 2024.

Baca Juga: BMKG Hari ini:Masyarkat Dihimbau Waspadai Prediksi Hujan Badai

Selain dalam lukisan fenomenal The Scream, kedahsyatan letusan Krakatau tergambarkan dalam Syair Lampung Karam yang ditulis Muhammad Saleh, saksi sejarah mala Krakatau.

Tulisannya menggunakan huruf hijaiyah, sangat runut, detail, dalam 374 bait.

Tulisan Muhammad Saleh itu sempat hilang sejak meletusnya Krakatau, pada 2008 syair itu ditemukan seorang warga negara Indonesia bernama Suryadi di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda.

Baca Juga: Dukung Pariwisata, TNI AU Akan Kembangkan Aerowisata di Banyuwangi

Kisah ditemukannya syair itu pernah diberitakan Harian Kompas edisi Jumat, 12 September 2008. Suryadi mengungkapkan, kajian ilmiah maupun bibliografi ihwal Krakatau hampir-hampir luput mencantumkan sumber pribumi.

"Dua tahun penelitian, saya menemukan satu-satunya kesaksian pribumi dalam bentuk tertulis," ucap dia di Harian Kompas edisi itu.

Dalam syair Saleh disebutkan, tsunami di Lampung setinggi 36,6 meter. Perahu dan kapal dapat terseret ke daratan.

Baca Juga: Gotong Royong! PPPK Banyuwangi Bakal Turut Tangani Kemiskinan

Gelombang tsunami bahkan membuat kapal De Brow di Selat Sunda terdampar ke Pesisir Teluk Lampung, membuat buoy kapal itu terlempar ke beberapa titik.

Berdasarkan laporan Harian Kompas, buoy itu masih bisa dilihat di Taman Dipangga dan Museum Lampung. Adapun bangkai kapalnya terdampar nyaris hilang karena teronggok begitu saja, besi-besinya dipreteli dan cuma meninggalkan satu bagian yang sampai kini masih dijaga.***

Editor: Dian Effendi

Tags

Terkini

Terpopuler