Botol Pengubah Nasib

- 2 Juni 2020, 17:00 WIB
ILUSTRASI cahaya matahari.*
ILUSTRASI cahaya matahari.* /Pixabay/

''Saya tidak mau mengemis, Pak. Apalagi mencuri, orang tua saya tidak pernah mengajarkannya.''

''Jadi orang itu jangan sok alim! Lama-lama saya pusing mendengar ocehanmu,'' kata Si Mandor.

Orang itu memukul wajah Dino hingga hidungnya berdarah, lalu mendorong hingga terjatuh. Ia juga tanpa berperasaan menendang tubuh kecil Dino, lalu pergi meninggalkannya. Dino berjalan jatuh bangun, menuju makam kedua orang tuanya. Ia bermaksud mencurahkan isi hatinya kepada orang tuanya. Batu nisan dipeluk dan dicium, mengobati rasa rindunya selama ini hingga rasa sakit terkena pukulan Si Mandor tadi tidak dirasakannya lagi. Setelah lama berada di makam orang tuanya, ia kembali pulang.

           Dino berdiri di balik jendela. Ia mencoba lebih memahami apa yang pernah dikatakan orang tuanya. Dilihatnya setumpuk botol bekas berserakan. Mengingat saat membuat sandal sederhana, ia mencoba membuat miniatur yang telah diajarkan gurunya saat masih sekolah. Tanpa sengaja seseorang melihatnya, saat lewat di depan rumahnya. Ia terkesan dengan karya Dino yang begitu kreatif.

''Nak, kalau boleh saya tahu ini berapa harganya?''

''Wah ini belum jadi, Pak. Lagi pula miniatur seperti ini siapa yang mau beli?''
Orang itu benar-benar menyukai karya Dino. Ia membeli dengan harga tinggi miniatur setengah jadi tersebut. Dino tak menolaknya karena sangat membutuhkan uang saat ini.

''Lumayan uang ini bisa untuk berobat dan membeli sepatu baru.''
Ia pun berusaha membuat miniatur lebih bagus lagi, mungkin usahanya takkan sia-sia. Ternyata benar, kali ini seorang wanita juga tanpa sengaja melihat miniatur karyanya, bermaksud memesan dua puluh buah miniatur. Matanya berbinar-binar penuh kebahagiaan. Ia berlari menuju kamar untuk memberitahukannya kepada Ratih. Sampai di dalam kamar, mata berbinar-binar telah memudar. Terlihat Ratih tergeletak kaku di atas tempat tidur. Perasaan hancur lebur dengan derasnya air mata membasahi pipinya. Ketidakpercayaan adiknya telah meninggalkanya, serta belum sempat memberikan kebahagiaan kepadanya. Memang tak akan bisa menghindar dari takdir Tuhan. Ia hidup sebatang kara, tiada orang lain mempedulikannya.

          Hari berganti Minggu, bulan hingga tahun usahanya membuat miniatur semakin berkembang. Dino telah menginjak usia dua puluh lima tahun dan telah mampu mendirikan usaha miniatur dengan karyawan cukup banyak, serta mengekspor ke mancanegara. Ketika sedang berbicara dengan temannya, ia ditemui seseorang.

''Nak, di sini masih adakah lowongan pekerjaan?''  tanya seseorang dengan kepala tertunduk.

''Bapak mau kerja di sini, silahkan mulai sekarang Bapak bisa kerja!'' kata Dino sambil tersenyum.

Halaman:

Editor: Dian Effendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x