Alternative Voices in Muslim Southeast Asia, Kembali Hadirkan Ide Progresif Islam

- 10 Maret 2020, 19:10 WIB
DISKUSI dan bedah buku bertajuk Alternative Voices for Muslim in Southeast Asia, berlangsung di LIPI, Jakarta, Jumat, 6 Maret 2020.*
DISKUSI dan bedah buku bertajuk Alternative Voices for Muslim in Southeast Asia, berlangsung di LIPI, Jakarta, Jumat, 6 Maret 2020.* /ISTIMEWA/

RINGTIMES – Perbedaan pendapat tentang cara mengamalkan agama kerap jadi pemandangan lazim saat ini.

Gaungnya semakin keras ketika memilik sosial media. Youtube dan Facebook misalnya.

Khilafiyah jadi konten yang diminati dengan tanggapan komentar yang (lagi-lagi) jadi arena debat menarik. Belum lagi pandangan pemuka agama satu yang dibenturkan dengan pemuka agama lainnya plus judul konten yang click bait.

Fenomena ini jelas menunjukkan kemunduran. Jika diurai, hal serupa pernah terjadi bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.

Pada1935 , dalam Kongres Nahdlatul Ulama di Banjarmasin, KH Hasyim Asy'ari sudah berupaya meredam perdebatan sengit yang sebelumnya kerap muncul.

Baca Juga: Pihak Sekolah Bingung, Upah Guru Honorer Tidak Masuk Dalam Dana Bos

Lewat surat edarannya, pendiri NU mengundang partisipasi seluruh ulama untuk meninggalkan sikap fanatik dan saling mencela kelompok lain. 

Namun nyatanya, perdebatan ini masih diminati hingga hari ini. Padahal, alih-alih memajukan Islam, titik berat pada isu ini malah menimbulkan regresi yang melahirkan masalah baru seperti konservatisme hingga --lebih jauh lagi-- ekstremisme.

Diskusi dan bedah buku bertajuk "Alternative Voices for Muslim in Southeast Asia" pun mencoba membawa ide Progresif Islam sebagai penawar.

Menghadirkan tiga pembicara yakni Dr. Azhar Ibrahim dari Departmen Malay Studies, National University of Singapore, Dr. Norshahril Saat dari ISEAS-Yusuf Ishak Institute, Singapura, dan Dr. Najib Burhani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, diskusi ini memang membawa wacana perlunya ide Progresif Islam masuk ke tengah.

Upayanya pun mesti dibangun bersama karena fenomena regresi ini sesungguhnya tak hanya terjadi di Indonesia tetapi lebih jauh lagi Asia Tenggara terutama Malaysia dan Singapura.

Baca Juga: Jual masker 1 Miliyar, Politisi Jepang Minta Maaf


"Jadi melalui buku ini, kami hendak mengedepankan wacana progresif yang tidak diketahui banyak orang.  Islam yang mau melawan ketidakadilan, melawan chauvinisme, misoginisme, yang tidak hadir atau belum hadir dengan kuat dalam pendidikan," kata Dr. Azhar dalam diskusi yang digelar di LIPI, Jakarta, Jumat, 6 Maret 2020.

Menurut Dr. Azhar, ide ini sesungguhnya bukan ide baru. Apalagi sejak dekade 70, Indonesia sudah cukup akrab dengan ide-ide progresif Islam yang digaungkan oleh KH Abdurrahman Wahid, Nurcholis Majid, Buya Syafii Maarif atau Quraisy Syihab.

Di Malaysia dan Singapura, meski tak sebanyak di Indonesia, pemikir Progresif Islam juga muncul di era yang tak jauh berbeda lewat Chandra Muzzafar, Syed Hussein Alatas, atau Nur Aisyah Abdurrahman. Sayang di era kini, medium penyampaian ide-ide progesif Islam belum bisa menjanjikan dan berlaku dengan baik. 

"Di sisi lain, suara konservatif paling aktif dalam selera massa dan seringkali diberi suara oleh institusi negara. Sebaliknya, golongan progresif tidak pernah memiliki institusi pendidikan yang besar dan tidak begitu dekat dengan masjid dan jamaah," ucap dia.

Baca Juga: Tunggak Pajak, Bapenda Banyuwangi Ancam Laporkan PT Colorindo ke Kejaksaan

Menurut Dr. Azhar, mengembalikan wacana progresif ke tengah publik memang perlu kerja bersama dan tidak hanya dibebankan pada satu atau dua lulusan pesantren yang punya ide progresif saja.

Perlu tangan-tangan pekerja budaya lain untuk bersama-sama memasukkan nilai dan mengembalikan kesadaran pada Islam yang kontekstual dan ramah.

Kemudian pengembangannya pun harus organik dan tidak bisa instan. 

"Bukan kerja satu orang atau satu ormas tapi ramai-ramai. Melibatkan cultural workers, intelektual, publisher dari yang terkecil. Misalnya di buku anak-anak dengan memasukkan nilai-nilai bagaimana menghormati tetangga yang beda agama, menjaga kelestarian alam, untuk sekolah dan kampus, itu bagaimana. Karena harus semai dulu sebelum tumbuh," ucap dia.

Adapun mengapa masyarakat saat ini lebih berminat pada ide-ide konservatif karena memang tak ada alternatif lain yang disajikan oleh media.

Baca Juga: Diduga karena Observasi COVID-19 di Pulau Sebaru, Kunjungan Wisata ke Pulau Kelapa dan Pulau Harapan Menurun

Ketika mereka mencari kebutuhan spiritual, yang didapat dan menjangkau mereka adalah ide-ide konservatisme ini. Belum lagi mereka bisa masuk ke berbagai kalangan mulai dari anak hingga dewasa, dari kelas bawah hingga menangah-atas.

"Jadi bagaimana caranya (membawa ide Progesif Islam)? Ya saya kia perlu penerbitan yang konsisten, berwacana dalam sfera publik, kehadiran dalam medsos, pembentukan culture circles, program pelatihan kader, masuk ke kurikulum, hingga keterampilan ideologi atau publik intelektual," ucap dia.

Sementara itu, Dr. Norshahril Saat menyebut penulisan ini memang hendak menjadi jawaban dari anggapan Asia Tenggara yang semakin konservatif. Menurut dia, hal ini membuat isu berkaitan dengan radikalisme dan terorisme jadi sering dibangkitkan.

Adapun untuk membawa wacana progresif Islam ke bawah mesti dilakukan dengan membuka akses-akses itu ke publik. Salah satunya lewat media yang bisa membawa ide ini lebih membumi.

"Kalau kita lihat salah satu Ulama yang cukup progresif seperti Quraisy Syihab misalnya, beliau bisa merangkul lewat acaranya di TV, tapi kalau tulisan saya kira tidak terlalu aksesibel mungkin karena sangat akademis. Yang cukup sukses justru lewat media, seperti Syihab dan Syihab. Ini bisa lebih merangkul dan perlu lebih ramai yang seperti ini," kata dia

Baca Juga: Miliarder Elon Musk Menuai Kecaman dari Netizen di Twitter

Namun, jika melihat di kawasan, masing-masing negara memang punya kendalanya masing-masing. Di Malaysia misalnya, ide progresif Islam tentu lebih sulit bergerak ketimbang di Indonesia. Pasalnya, agama dimiliki negara dan fatwa dari Majelis Ulama bisa masuk ke parlemen menjadi UU. Selama ini ide-ide tersebut pun lebih mafhum di kalangan akademisi, aktivis, sastrawa, dan ahli hukum.

"Ini ditambah dengan regenerasi yang mandeg. Nama-nama seperti Chandra Muzzafar, itu adalah generasi sepuh. Yang seumuran kami yang bicara tentang Islam Progresi hampir tidak ada. Padahal Islamic Studiesnya terbesar di Asia Tenggara," kata dia.

Belum lagi di Singapura dan Malaysia, ada penentuan siapa yang layak bicara tentang Islam. Cendekiawan yang bukan berasal dari Islamic Studies tidak boleh bicara tentang Islam. "Ini seolah ada monopoli." ucap dia. 

Sementara itu, Dr. Najib Burhani, peneliti LIPI yang juga menjadi salah satu penulis di buku ini menyoroti pada seberapa besar ide progresif Islam diterima di Indonesia. Karena di Kawasan Asia Tenggara, ide-ide progresif dari pemikir Indonesia kerap kali disanjung.

Dia pun menghadirkan kembali catatan-catatan yang kerap diulas dalam diskusi Jong Islamieten Bond pada 1920-an yang sebenarnya sudah lekat dengan ide progresif Islam.

Baca Juga: Pasar Saham dan Harga Minyak Dunia Anjlok, Kekhawatiran Resesi Global Akibat Virus Corona Memuncak.


"Itu pada masa 1920. Tapi kenyataannya kita sekarang kembali ke masa lalu, untuk tidak mengangkat hal progresif dalam Islam. Padahal pada waktu itu, JIB sampai mengkaji tafsir Ahmadi untuk menjawab persaingan pemikiran pada masanya agar tidak terjerembab pada sekularisme misalnya," ucap dia.


Oleh karena itu, dia berharap suara progresif Islam ini tidak jadi alternative voices tapi justru mainstream voices. Untuk membangkitkannya memang perlu dihadirkan banyak penulis yang bisa mentrasnformasikan ide ini ke publik.

"Karena kita kerap menghadapi persoalan yang lain yang berkaitan dengan tradisi menulis. Kita jarang mendapatkan orang yang aktif menulis," ucap dia.

Buku "Alternative Voices in Muslim Southeast Asia" ini memuat 12 tulisan dari sejumlah penulis baik Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Selain Dr. Najib Burhani, serta Dr. Norshahril Saat dan Dr. Azhar Ibarahim yang merangkap menjadi editor, beberapa penulis yang terlibat di antaranya Dina Zaman, Pradana Boy, Noor Aisha Abdul Rahman, Syed Farid Alatas, Zainal Abidin Bagir, Azis Anwar Fachrudin, Mohd Faizal Musa, dan Ahmad Suaedy. ***

Baca Juga: Akibat Virus Corona Semua Acara Olahraga di Italia Distop

 

sumber: pikiran-rakyat.com dengan judul Alternative Voices in Muslim Southeast Asia, Menghadirkan Kembali Suara Progresif Islam ke Tengah

Editor: Dian Effendi

Sumber: Pikiran-Rakyat.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah