Laporan tersebut menunjukkan peningkatan yang signifikan, karena semakin banyak anak yang merasa takut (sebanyak 84 persen, pada tahun 2018 sebanyak 50 persen), gugup (80 persen, sebelumnya 55 persen), depresi (77 persen, sebelumnya 62 persen), dan kesedihan (78 persen jika dibandingkan sebelumnya 55 persen).
Sedihnya, Save the Children melaporkan bahwa lebih dari separuh anak di Jalur Gaza berpikir untuk bunuh diri, dan tiga dari lima anak mencoba melukai diri.
Faktor utama yang berkontribusi pada krisis kesehatan mental yang dialami oleh anak-anak dan remaja di Jalur Gaza, Palestina adalah kurangnya akses layanan dasar seperti perawatan kesehatan karena blokade masih dilangsungkan.
Baca Juga: Pendakwah Indonesia: Gaza Gaungkan Takbir Kemenangan atas Gencatan Senjata Israel
Dilansir dari laman Al Jazeera, menurut petugas kesehatan yang diwawancarai dalam laporan tersebut, sebanyak 59 persen anak-anak mengalami kesulitan bicara, bahasa dan komunikasi.
Save the Children mengingatkan bahwa efek dari gejala-gejala ini akan mempengaruhi langsung pada perkembangan, pembelajara, dan interaksi sosial anak-anak dalam waktu jangka panjang.
Direktur Save the Children Jason Lee membeberkan bukti fisik atas ketakutan anak-anak ini terlihat bahwa mereka seringkali mengompol, kehilangan kemampuan untuk berbicara dan menyelesaikan tugas.
Baca Juga: Pakar Ungkap Kekhawatiran Runtuhnya Gaza Palestina dalam Seminggu Mendatang
Maka dengan ini, Jason Lee juga mengingatkan organisasi internasional untuk lebih memperhatikan anak-anak di Jalur Gaza, Palestina.
Sebelumnya dalam laporan 2018, beberapa orang tua dan pengasuh memperkirakan bahwa blokade jalur yang semakin berkelanjutan dapat menghancurkan kemampuan mereka untuk mengasuh anak.