Analisa Gejolak Sosial Pandemik Covid-19

- 20 April 2020, 16:00 WIB
ILUSTRASI konflik politik.*
ILUSTRASI konflik politik.* /DEVANATH/PIXABAY/

Oleh: Tony Rosyid*

Semoga pandemi Covid-19 segera berlalu. Itu harapan kita semua. Caranya? Pertama, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) harus diterapkan di seluruh wilayah NKRI. Pemerintah pusat ambil tanggung jawab. Jangan serahkan ke daerah.

Kedua, PSBB mesti dilaksanakan dengan serius. Semua unsur pemerintahan mesti bersinergi untuk dukung PSBB ini. Jangan lagi ada beda pendapat dan kepentingan antara para menteri, dan pusat-daerah. 

Buang jauh-jauh vested interest. Bukan waktunya berpolitik. Entar kalau pandemi sudah kelar, silakan berpolitik lagi. 

Baca Juga: Untuk Melacak Penyebaran Covid-19, Pendiri Instagram Buatkan Situs Web

Ketiga, rakyat harus disadarkan dan disiplinkan. Baik melalui aturan, maupun melalui transparansi informasi. Beri pemahaman yang masif kepada rakyat.

Jika tiga hal ini berhasil, kemungkinan akhir Mei pandemi selesai. Jika gagal? Pandemi bisa sampai akhir tahun 2020, seperti prediksi Pak Jokowi. Atau bahkan hingga awal tahun 2021.

Kalau pandemi makin lama, maka dampak ekonominya pasti makin dahsyat. Tidak saja pertumbuhan ekonomi yang minus dan inflasi tinggi, tapi rakyat pasti kelaparan.

Survei SMRC, 77 persen masyarakat merasa ekonominya terdampak Covid-19. 67 persen di antaranya sangat buruk.

Baca Juga: Pulang dari Pasar, 17 Warga Langsung Terkonfirmasi Positif Covid-19

25 persen (50 jutaan) masyarakat kita nggak bisa makan kecuali pinjam. 15 persen punya tabungan untuk hidup hanya beberapa pekan ke depan. 15 persen lainnya hanya mampu bertahan untuk satu pekan. Ngeri! Anda termasuk yang mana?

Pekan berikutnya? Pemerintah, lembaga sosial, saudara, teman dan masyarakat sekitar harus bersinergi untuk bisa membantu mereka. Terutama kelompok upper class (kelas atas). 

23 persen kelompok yang menguasai 90 persen kekayaan negara ini mesti mau membongkar pundi-pundi kekayaannya untuk membantu masyarakat lower class (kelas bawah) yang terdampak. 

Baca Juga: Mengharukan, Video Anggota TNI Membagikan Sembako Secara Diam-Diam

Kemampuan pemerintah dan kelompok middle class (kelas menengah) sangat terbatas. Saatnya orang-orang yang super kaya ini ambil peran dan ikut menyelamatkan bangsa. 

Sepekan ini, kita hampir setiap hari dapat kiriman video terkait penjambretan dan pembegalan. Infonya, ini ulah di antara 36.554 napi yang dilepas Kemenkumham. Mungkin betul. Walaupun tak semuanya. 

Kok puluhan napi dilepas? Kontroversial! Bukankah mereka masih muda, dan punya record kriminal? Kenapa bukan yang usianya di atas 50 tahun, atau napi koruptor? Kalau usia tua dilepas, kemungkinan nggak akan melakukan kriminal lagi. 

Baca Juga: Challenge Tik Tok Berujung Celaka, Wanita di Inggris Sampai Mengalami Patah Kaki

Kalau koruptor dilepas, kecil kemungkinan bisa korupsi lagi. Soal ini, tanya Menkumham. 

Kenapa kriminalitas makin sering terjadi? Kelaparan! Ini salah satu faktor utamanya. Kalau ini terus terjadi, dan jumlahnya makin banyak, apalagi masif, maka gejolak sosial tak bisa dihindari lagi.

Setidaknya ada tiga faktor mengapa gejolak sosial terjadi. Pertama, distribusi keadilan yang tak merata. Termasuk keadilan hukum, politik dan ekonomi.

Beberapa tahun ini rakyat sudah berteriak soal ini. Meski terkendali, tapi dalam situasi silent cinflict. Ada trigger, rawan pecah! (Baca teori dari Jonathan Turner).

Baca Juga: Challenge Tik Tok Berujung Celaka, Wanita di Inggris Sampai Mengalami Patah Kaki

Kedua, kelaparan. Kalau di rumah tak lagi ada beras, mereka jual perabotan. Perabotan habis, mereka minta bantuan dan pinjam sana-sini. Tak ketemu, mereka akan jual barang orang lain.

Mencuri, menjambret dan membegal tak lagi bisa dihindari. Hanya untuk makan. Bahaya!

Ketiga, negara melemah dan muncul kekuatan di luar sang penguasa. Kekuatan yang lahir biasanya tak jauh dari lingkaran istana. “Para pengkhianat” muncul dan memanfaatkan situasi darurat.

Ingat 1998? Para menteri mundur, Presiden Soeharto sendirian. Kekuatan di sekitar istana bermain dan memanfaatkan situasi darurat itu. Jeger!

Baca Juga: Ekonomi Dunia Melambat Sangat Signifikan dengan Banyak Ketidakpastian

Ini sudah hukum politik. Selama di luar istana tak ada kekuatan superior yang mampu kendalikan infrastruktur politik, maka pengkhianat di sekitar istana yang akan mengambil keuntungan dalam situasi darurat.

Ketika ekonomi negara terpuruk, rakyat kelaparan dan gejolak sosial masif terjadi, ini situasi sulit bagi bangsa ini. Belum lagi ada sekelompok orang yang profesinya “memancing di air keruh”. Mereka selalu memanfaatkan situasi darurat.

Dalam teori “the function of social conflict”, Lewis Coser menggambarkan sekelompok orang yang mendorong terjadinya gejolak sosial dan memanfaatkan konflik untuk menawarkan peran setelah sebelumnya tersingkir dari arena permainan.

Baca Juga: Ekonomi Dunia Melambat Sangat Signifikan dengan Banyak Ketidakpastian

Nah, melihat pembegalan akhir-akhir ini dengan pola yang sistemik, patut dicurigai ada pihak yang sedang memancing di air keruh. Kalau ini benar, maka dipastikan mereka adalah orang-orang profesional. Saatnya polisi dan rakyat berkolaborasi.

Seorang filosof dari Slovania, Zizek menawarkan terapi komunisme. Dalam buku terbarunya berjudul “Pandemik! Covid-19 Dhakes the World” ia menulis: “Virus corona adalah serangan telak bagi kapitalisme dan merupakan penemuan kembali komunisme”. Sebuah gagasan radikal. Dahi anda pasti berkerut dengar ini.

Kritik Zizek kepada kapitalisme, Ok. Sepakat. Dan tak ada kelompok yang lebih bersemangat dan sistemik dalam membongkar bobroknya kapitalisme di luar kelompok marxis. 

Selebihnya, utopis. Dan ciri komunisme-Marxis memang selalu utopis, bahkan sadis.

Baca Juga: Next Update, WhatsApp Bakal Tambahkan Jumlah Peserta Video Call

Kalau semangatnya adalah bagaimana menghadapi musibah ini secara bersama-sama, it’s ok. Semua agama punya solusi yang sama. Kontra kapitalisme. Berbagi adalah cara paling efektif untuk menghadapi kelaparan massal. Dan ini harus dilakukan tidak saja secara masif, tapi mesti terstruktur dan sistemik. Perlu database yang valid sebagai acuan. 

Dari database itu akan terlihat jumlah orang miskin lama (OML) dan orang miskin baru (OMB), lengkap sebarannya.

Pemerintah, lembaga sosial, dan kelompok upper class mesti bersinergi untuk mengatasi. Tidak jalan sendiri-sendiri. Sekarang, terlihat masif, tapi tak merata. 

Hanya menyelesaikan sebagian saja, sebagian yang lain tak tersentuh. Kenapa tidak dikordinasikan melalui pengurus RT misalnya. Mereka punya yang lebih tahu kondisi warganya. 

Baca Juga: Suka Chatting Lama-Lama? Waspadalah Dengan Sindrom Smartphone Pinky

Dari diskripsi situasi di atas, jika PSBB menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia, pemerintah serius dan masyarakat punya kesadaran, maka kemungkinan pandemi Covid-19 akan segera berakhir di bulan Mei. Gejolak sosial gak sampai terjadi secara masif.

Begitu juga jika pandemi terpaksa berlanjut sampai akhir tahun, tapi sinergi pemerintah, lembaga sosial, masyarakat upper class berhasil manjamin ketahanan pangan warga yang terdampak covid-19 sampai akhir tahun, maka gejolak sosial masih bisa ditekan. 

Tapi, jika kedua opsi di atas tak dilakukan secara optimal, maka gejolak sosial besar kemungkinan tak bisa dikendalikan. Dan penerapan darurat sipil hanya akan menambah situasi lebih parah lagi. Kita tak ingin ini terjadi. 

(Jakarta, 20 April 2020)

*)Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Editor: Dian Effendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x