“KF-21 bisa menjadi kesuksesan pasar ekspor bagi negara-negara yang tidak ingin, atau tidak bisa mendapatkan, F-35 dan tidak ingin bergantung pada pesawat tempur AS atau Rusia,” kata Richard Aboulafia, FRAeS, Wakil Presiden, Analisis di Teal Group Corporation.
“KAI perlu mengingat F-35 tetapi juga semua pesaing lainnya. Saya akan mengatakan biaya flyaway berulang unit kurang dari 60 juta dolar adalah kuncinya, bersama dengan biaya operasi dalam kisaran 20 ribu dolar per jam atau kurang.” tambah dia dikutip dari Zonajakarta.com dengan judul Indonesia dan Korea Selatan Bak Dapat Durian Runtuh Jika Proyek KF-21 Boramae Berhasil Terwujud, Ini Alasannya
Seperti yang diketahui, persaingan di pasar pesawat tempur global saat ini dipegang oleh AS, Rusia, dan Prancis.
Hal ini lantas membuat pasar tersebut sulit dimasuki pendatang baru.
Namun demikian, harga KF-21 yang menarik dan peningkatan yang kuat bisa saja membantu KAI membuka pasar ekspor yang menguntungkan.
Baca Juga: Kabar Batalnya Indonesia Soal Perjanjian Pembagian Biaya Jet Tempur KF-21 Boramae Jadi Sorotan
Aerosociety melaporkan bahwa Korea Selatan mengambil pendekatan berbasis ekspor untuk program KF-21 yang mencakup pula kerja sama industri.
Hal ini dapat dibuktikan oleh kemitraannya dengan Indonesia untuk berbagi 20 persen dari biaya R&D sekitar 1,3 miliar dolar antara tahun 2015-2028.
Fase awal kemitraan berjalan lancar sebelum akhirnya tim Indonesia ditarik dari proyek pada Maret 2020 karena tidak membayar iuran dan pandemi COVID-19.
Namun, kedua negara telah melanjutkan kerja sama mereka dalam proyek tersebut dengan staf teknis Indonesia yang kembali ke lokasi pengembangan Sacheon KAI di Gyeongnam pada bulan Agustus.*** (Intan Safitri/Zona Jakarta)