Kedatangan VOC Belanda di Banyuwangi Mendarat di Pelabuhan Banyualit

3 Mei 2021, 01:44 WIB
VOC jadi alat penjajahan Belanda di Indonesia /commons.wikimedia.org/

RINGTIMES BANYUWANGI - Dalam Babad Sembar, Banyualit (sekarang Blimbingsari) merupakan daerah pesisir selat Blambangan (sekarang Selat Bali) yang didarati kapal-kapal dari Bali yang membawa pasukan Gelgel Bali dibawah pimpinan Panji Danurdarasta tahun 1692.

"Blambangan tidak dapat dilepaskan dari sejarah Banyualit. Jika menengok ke belakang, pada tahun 1743, Pakubuwana II tanpa hak telah menyerahkan daerah sebelah timur Pasuruan kepada VOC," ungkap Pemerhati Sejarah Blambangan, Aji Ramawidi, 2 Mei 2021.

Tahun 1766, Armada dagang Inggris pertama kali bersadar di Blambangan untuk menjalin kerjasama perdagangan.

Kedatangan armada Inggris membuat VOC khawatir akan terjadi perebutan wilayah kekuasaan.

Baca Juga: Pria 25 Tahun Jual Indomie Cabe Laku 3000 Bungkus Per Hari, Ide Muncul Gegara Putus Cinta

Sehingga pada tahun 1767, VOC mengirim Letnan E. Blanke dan pasukannya ke Blambangan. Armada E. Blanke tiba di Banyualit tanggal 23 Maret 1967.

Tiba di Banyualit, E. Blanke dan pasukannya melihat banyak mayat tergeletak akibat perang saudara antara Kaksi Kabakaba Bali dengan Faksi Mas Weka dari Jawa.

Tak lama kemudian, pada 24 Maret 1767, Faksi Mas Weka yang memenangkan perang saudara itu menyerah kepada pasukan E.Blanke di Banyualit.

Aji Ramawidi menyebut, sepakan kemudian, Ulu Pangpang (sekarang Muncar) dapat ditakhlukkan pada 31 Maret 1767 setelah Bagus Kabakaba melakukan puputan.

Banyualit sempat dijadikan pos bagi pasukan VOC serta anteknya dan didirikan benteng di bekas benteng Blambangan yang rusak.

Berawal dari masuknya VOC melalui pelabuhan Banyualit, pada tanggal 31 Maret 1767, bendera Belanda dikibarkan pertama kali di tengah Ibukota Blambangan.

Baca Juga: Wanita Pontianak Sulap Bakso Kuah Pedas Jadi Ladang Bisnis, Hasilkan Rp2 Juta Per Hari

Pengibaran bendera Belanda pertama kali di Blambangan itu, diibaratkan untuk melengkapi penyerahan secara de jure wilayah Blambangan oleh Pakubuwana II kepada VOC pada tahun 1743 lalu.

Setelah berhasil menduduki Blambangan, VOC langsung membangun benteng dan loji sebagai kantor pemerintahan di Banyualit.

Menurut Aji Ramawidi, 50 orang penduduk lokal dipaksa bekerja membangun benteng dan loji di Banyualit.

Bahkan, lanjutnya, Gubernur VOC di Hindia Belanda memerintahkan Letnan E.Blanke untuk membunuh rakyat yang tidak mematuhi perintah VOC.

Namun, perang yang terus berkecamuk di Blambangan menyisakan mayat-mayat yang tidak terurus, sehingga menyebabkan wabah penyakit.

Selain itu, Blambangan saat itu juga tengah dilanda penyakit Malaria.

Keadaan tersebut membuat para pelaut yang hendak sandar di Pelabuhan Banyualit mengurungkan diri.

Baca Juga: 4 Artis yang Gagal Bisnis Kuliner hingga Bangkrut Ratusan Juta

Situasi wabah terus meluas dan menyebabkan dari 3 ribu pasukan kompeni hanya tersisa 300 orang. Termasuk Letnan E. Blanke juga tewas pada tahun 1767 karena wabah.

Setelah kematian Letnan E. Blanke, VOC mengutus armada Adrianus van Rijke untuk melanjutkan ekspedisi ke Blambangan.

Van Rijke kemudian membuat benteng baru di Kota Lateng Rogojampi yang keadaannya lebih sehat dan membiarkan benteng Banyualit terbengkalai.

Banyualit dan Agung Wilis

Banyualit juga disebut dalam sejarah Perang Wilis tahun 1767-1768.

Enam bulan setelah VOC menduduki Blambangan, tepatnya pada 29 September 1767, Pangeran Agung Wilis kembali dari Bunutin Bali dan berlabuh di pantai Grajagan.

Kembalinya Agung Wilis ke Blambangan, tampaknya tidak diketahui oleh VOC di Banyualit.

Ketidaktahuan VOC dimanfaatkan Pangeran Agung Wilis untuk mengumpulkan rakyat Blambangan dan mengumpukan senjata yang dibeli dari Inggris.

Tak berselang lama, yakni pada Februari 1768, pengikut Pangeran Agung Wilis berjumlah 6 Ribu orang.

Baca Juga: 5 Kebiasaan Utama Penyebab Diabetes, Buat Gula Darah Naik Seketika

Dengan kekuatan besar dan persenjataan lengkap, Mas Surawijaya mengusulkan kepada Agung Wilis untuk segera menyerang VOC di Benteng Banyualit.

Namun Agung Wilis tidak setuju dengan usulan putranya itu. Wilis lebih memilih strategi perlawanan secara diam-diam, yakni dengan mengajak rakyat untuk mogok kerja.

Aksi mogok kerja rakyat Blambangan membuat pembangunan benteng Banyualit terhenti.

Aksi mogok kerja membuat VOC marah dan Gezaghebber J.E.C a Groen memerintahkan Van Rijke untuk menangkap Pangeran Agung Wilis hidup-hidup.

Tapi Van Rijke menolak perintah tersebut karena hanya memiliki 30 orang pasukan.

Van Rijke beralasan, pasukannya akan lelah jika harus mengejar Pangera Wilis ke kota.

Van Rijke menegaskan, jika kekerasan diterapkan kepada Pangeran Agung Wilis dan rakyat Blambangan, maka VOC harus menambah kekuatan pasukannya di Blambangan.

Namun permintaan Van Rijke tidak dipenuhi karena pasukan kompeni di ujung timur Jawa saat itu sangat lemah. (bersambung).***

Editor: Dian Effendi

Tags

Terkini

Terpopuler