Sejarah Hari Raya Galungan, Diambil dari Bahasa Jawa Kuno yang Berarti Menang atau Perang

- 16 September 2020, 17:30 WIB
Ilustrasi Hari Raya Galungan.
Ilustrasi Hari Raya Galungan. /Umah Penjor

RINGTIMES BANYUWANGI – Galungan merupakan upacara hari kemenangan bagi Umat Hindu.

Dulungan juga memiliki makna yang sama yakni menang. Galungan berarti menang atau bertarung, yang diambil dari bahasa Jawa Kuno.  

Oleh karenanya di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan.

Baca Juga: Simak Cara Mudah Merawat Sirih Cina yang Banyak Dicari

Dengan nama yang berbeda namun tetap memiliki makna dan tujuan yang sama.

Seperti halnya menurut masyarakat di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan ‘Legi’ sementara di Bali disebut ‘Umanis’, yang artinya sama yakni manis.

Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini.

Baca Juga: Ramalan Keuangan Zodiak Hari ini Rabu, 16 September 2020, Virgo Ada Penurunan Dalam Motivasi

Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertama kali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali.

Mengutip dari laman Facebook resmi Pura Agung Wira Dharma Samudra Cilandak Jakarta, bahwa menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Di dalam lontar tersebut menyebutkan: 

Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya. Yang artinya Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Baca Juga: 3 Kesalahan Ketika Daftar Kartu Prakerja, Salah satunya Tidak Mengisi Ulasan dan Rating Pelatihan

Sejak saat itu Hari Raya Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali dengan meriah.

Selama kurang lebih selama tiga abad Hari Raya Galungan tersebut dirayakan, secara tiba-tiba perayaan hari raya tersebut diberhentikan begitu saja tanpa alasan yang pasti. Tepatnya pada tahun 1103 Saka.

Pemberhentian tersebut terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan.

Baca Juga: Jadwal Acara TRANS TV Rabu, 16 September 2020, Ada Drama Korea Trans TV ‘The World of the Married'

Hari Raya Galungan juga belum dirayakan kembali ketika tampuk pemerintahan dipegang oleh Raja Sri Dhanadi.  

Konon, selama Hari Raya Galungan tidak dirayakan musibah selalu berdatangan dan tak kunjung henti.

Umur para pejabat kerajaan pada saat itu konon menjadi relatif pendek.

Baca Juga: Jadwal Acara RCTI Rabu, 16 September 2020, Jangan Lewatkan Perempuan Pilihan

Ketika Sri Dhanadi mangkat kemudian digantikan oleh Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka.

Setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun, barulah Hari Raya Galungan dirayakan kembali.

Keterangan tersebut dapat dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.

Baca Juga: Kunci Jawaban Soal IPA SMP pada Materi Ciri-ciri Makhluk Hidup

Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek.

Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan semedi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya yang artinya mendekatkan diri pada Dewa.

Dewa Sraya tersebut dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih.

Baca Juga: Surat Al Falaq Ayat 1-5 Arab, Latin, dan Terjemahan Bahasa Indonesia

Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau ‘bisikan religius’ dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa.

Dalam pawisik tersebut Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Hari Raya Galungan.

Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu untuk kembali merayakan Hari Raya Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku sebelumnya.

Baca Juga: Telah Cair BLT Rp 600 Ribu Tahap 3, Simak Cara Cek Saldo dan Data Penerima

Di samping itu, disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).

Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya.

Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius tersebut, Hari Raya Galungan kembali dan terus dirayakan dengan hikmat dan meriah oleh seluruh Umat Hindu. ***

 

Editor: Galih Ferdiansyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x