Alternative Voices in Muslim Southeast Asia, Kembali Hadirkan Ide Progresif Islam

- 10 Maret 2020, 19:10 WIB
DISKUSI dan bedah buku bertajuk Alternative Voices for Muslim in Southeast Asia, berlangsung di LIPI, Jakarta, Jumat, 6 Maret 2020.*
DISKUSI dan bedah buku bertajuk Alternative Voices for Muslim in Southeast Asia, berlangsung di LIPI, Jakarta, Jumat, 6 Maret 2020.* /ISTIMEWA/

Upayanya pun mesti dibangun bersama karena fenomena regresi ini sesungguhnya tak hanya terjadi di Indonesia tetapi lebih jauh lagi Asia Tenggara terutama Malaysia dan Singapura.

Baca Juga: Jual masker 1 Miliyar, Politisi Jepang Minta Maaf


"Jadi melalui buku ini, kami hendak mengedepankan wacana progresif yang tidak diketahui banyak orang.  Islam yang mau melawan ketidakadilan, melawan chauvinisme, misoginisme, yang tidak hadir atau belum hadir dengan kuat dalam pendidikan," kata Dr. Azhar dalam diskusi yang digelar di LIPI, Jakarta, Jumat, 6 Maret 2020.

Menurut Dr. Azhar, ide ini sesungguhnya bukan ide baru. Apalagi sejak dekade 70, Indonesia sudah cukup akrab dengan ide-ide progresif Islam yang digaungkan oleh KH Abdurrahman Wahid, Nurcholis Majid, Buya Syafii Maarif atau Quraisy Syihab.

Di Malaysia dan Singapura, meski tak sebanyak di Indonesia, pemikir Progresif Islam juga muncul di era yang tak jauh berbeda lewat Chandra Muzzafar, Syed Hussein Alatas, atau Nur Aisyah Abdurrahman. Sayang di era kini, medium penyampaian ide-ide progesif Islam belum bisa menjanjikan dan berlaku dengan baik. 

"Di sisi lain, suara konservatif paling aktif dalam selera massa dan seringkali diberi suara oleh institusi negara. Sebaliknya, golongan progresif tidak pernah memiliki institusi pendidikan yang besar dan tidak begitu dekat dengan masjid dan jamaah," ucap dia.

Baca Juga: Tunggak Pajak, Bapenda Banyuwangi Ancam Laporkan PT Colorindo ke Kejaksaan

Menurut Dr. Azhar, mengembalikan wacana progresif ke tengah publik memang perlu kerja bersama dan tidak hanya dibebankan pada satu atau dua lulusan pesantren yang punya ide progresif saja.

Perlu tangan-tangan pekerja budaya lain untuk bersama-sama memasukkan nilai dan mengembalikan kesadaran pada Islam yang kontekstual dan ramah.

Kemudian pengembangannya pun harus organik dan tidak bisa instan. 

"Bukan kerja satu orang atau satu ormas tapi ramai-ramai. Melibatkan cultural workers, intelektual, publisher dari yang terkecil. Misalnya di buku anak-anak dengan memasukkan nilai-nilai bagaimana menghormati tetangga yang beda agama, menjaga kelestarian alam, untuk sekolah dan kampus, itu bagaimana. Karena harus semai dulu sebelum tumbuh," ucap dia.

Adapun mengapa masyarakat saat ini lebih berminat pada ide-ide konservatif karena memang tak ada alternatif lain yang disajikan oleh media.

Baca Juga: Diduga karena Observasi COVID-19 di Pulau Sebaru, Kunjungan Wisata ke Pulau Kelapa dan Pulau Harapan Menurun

Halaman:

Editor: Dian Effendi

Sumber: Pikiran-Rakyat.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah