Alternative Voices in Muslim Southeast Asia, Kembali Hadirkan Ide Progresif Islam

- 10 Maret 2020, 19:10 WIB
DISKUSI dan bedah buku bertajuk Alternative Voices for Muslim in Southeast Asia, berlangsung di LIPI, Jakarta, Jumat, 6 Maret 2020.*
DISKUSI dan bedah buku bertajuk Alternative Voices for Muslim in Southeast Asia, berlangsung di LIPI, Jakarta, Jumat, 6 Maret 2020.* /ISTIMEWA/

Ketika mereka mencari kebutuhan spiritual, yang didapat dan menjangkau mereka adalah ide-ide konservatisme ini. Belum lagi mereka bisa masuk ke berbagai kalangan mulai dari anak hingga dewasa, dari kelas bawah hingga menangah-atas.

"Jadi bagaimana caranya (membawa ide Progesif Islam)? Ya saya kia perlu penerbitan yang konsisten, berwacana dalam sfera publik, kehadiran dalam medsos, pembentukan culture circles, program pelatihan kader, masuk ke kurikulum, hingga keterampilan ideologi atau publik intelektual," ucap dia.

Sementara itu, Dr. Norshahril Saat menyebut penulisan ini memang hendak menjadi jawaban dari anggapan Asia Tenggara yang semakin konservatif. Menurut dia, hal ini membuat isu berkaitan dengan radikalisme dan terorisme jadi sering dibangkitkan.

Adapun untuk membawa wacana progresif Islam ke bawah mesti dilakukan dengan membuka akses-akses itu ke publik. Salah satunya lewat media yang bisa membawa ide ini lebih membumi.

"Kalau kita lihat salah satu Ulama yang cukup progresif seperti Quraisy Syihab misalnya, beliau bisa merangkul lewat acaranya di TV, tapi kalau tulisan saya kira tidak terlalu aksesibel mungkin karena sangat akademis. Yang cukup sukses justru lewat media, seperti Syihab dan Syihab. Ini bisa lebih merangkul dan perlu lebih ramai yang seperti ini," kata dia

Baca Juga: Miliarder Elon Musk Menuai Kecaman dari Netizen di Twitter

Namun, jika melihat di kawasan, masing-masing negara memang punya kendalanya masing-masing. Di Malaysia misalnya, ide progresif Islam tentu lebih sulit bergerak ketimbang di Indonesia. Pasalnya, agama dimiliki negara dan fatwa dari Majelis Ulama bisa masuk ke parlemen menjadi UU. Selama ini ide-ide tersebut pun lebih mafhum di kalangan akademisi, aktivis, sastrawa, dan ahli hukum.

"Ini ditambah dengan regenerasi yang mandeg. Nama-nama seperti Chandra Muzzafar, itu adalah generasi sepuh. Yang seumuran kami yang bicara tentang Islam Progresi hampir tidak ada. Padahal Islamic Studiesnya terbesar di Asia Tenggara," kata dia.

Belum lagi di Singapura dan Malaysia, ada penentuan siapa yang layak bicara tentang Islam. Cendekiawan yang bukan berasal dari Islamic Studies tidak boleh bicara tentang Islam. "Ini seolah ada monopoli." ucap dia. 

Sementara itu, Dr. Najib Burhani, peneliti LIPI yang juga menjadi salah satu penulis di buku ini menyoroti pada seberapa besar ide progresif Islam diterima di Indonesia. Karena di Kawasan Asia Tenggara, ide-ide progresif dari pemikir Indonesia kerap kali disanjung.

Dia pun menghadirkan kembali catatan-catatan yang kerap diulas dalam diskusi Jong Islamieten Bond pada 1920-an yang sebenarnya sudah lekat dengan ide progresif Islam.

Baca Juga: Pasar Saham dan Harga Minyak Dunia Anjlok, Kekhawatiran Resesi Global Akibat Virus Corona Memuncak.


"Itu pada masa 1920. Tapi kenyataannya kita sekarang kembali ke masa lalu, untuk tidak mengangkat hal progresif dalam Islam. Padahal pada waktu itu, JIB sampai mengkaji tafsir Ahmadi untuk menjawab persaingan pemikiran pada masanya agar tidak terjerembab pada sekularisme misalnya," ucap dia.


Oleh karena itu, dia berharap suara progresif Islam ini tidak jadi alternative voices tapi justru mainstream voices. Untuk membangkitkannya memang perlu dihadirkan banyak penulis yang bisa mentrasnformasikan ide ini ke publik.

Halaman:

Editor: Dian Effendi

Sumber: Pikiran-Rakyat.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah