Merekam Jeritan Luka di Era Pandemi Covid-19

- 10 April 2020, 21:08 WIB
/Denny JA

Baca Juga: Diluncurkan dari China, Satelit Nusantara Dua Gagal Mengorbit

Ada yang berkisah soal kesetiaan. Ia berhutang budi kepada majikan. Ketika sang majikan terkena virus corona, semua pergi. Tapi ia setia menemani. Sang majikan sembuh, namun ia sendiri kini di ajang ajal.

Ada pula kisah pedagang yang nekat. Ia sepenuhnya sadar hidup di kota besar. Mudah sekali ia tertular. Namun ia tak bisa berdiam saja di rumah. Anak dan istri perlu hidangan. Ia pun nekat tetap menjadi pedagang keliling.

Yang ini cerita tentang relawan. Ia mengabdikan diri merawat pasien. Begitu banyak yang ia ikut sembuhkan. Namun ia sendiri terkena virus. Ia pun menemui ajalnya.

Baca Juga: Lindungi Buah Hati Anda Dari Penyakit Meningitis

Ada pula puisi tafsir yang sangat filosofis. Covid-19 dianggap berperan sebagai guru spritual yang tak biasa. Melalui derita panjang, ia mengajarkan manusia hal yang esensial.

Ternyata oh ternyata, di hadapan Coronavirus perbedaan agama, etnis, warna kulit dan asal negara tak ada artinya. Semua sama. Sama riskan menjadi korban.

Masjid, Gereja, Kuil dan Sinagog, di hadapan Covid-19 sama saja. Semua sama kosong, sama tak dikunjungi, sama ditinggal.

Virus itu mengajarkan kita kesamaan manusia lebih esensial ketimbang atribut luarnya.

Baca Juga: Sebelum Memulai Sesuatu, Hendaklah Membaca Bismillah

Halaman:

Editor: Dian Effendi

Sumber: hajinews.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah