Kesemrawutan Fakta-Fakta G 30 S PKI, Keganjilan Untung Tidak Mengetahui Posisi Soekarno

28 September 2020, 18:57 WIB
Kesemrawutan Fakta-fakta G 30 S PKI /Zonapriangan.com/Pikiran-rakyat.com

RINGTIMES BANYUWANGI – Dalam Buku Dalih Pembunuhan Massal karya Jhon Roosa, kesemrawutan Fakta-Fakta G-30-S PKI, Pagi hari 1 Oktober, Gerakan 30 September menyatakan keberadaan dirinya untuk pertama kali melalui siaran RRI pusat pada pagi hari 1 Oktober 1965.

Dalam buku tersebut tepatnya di bab kesemrawutan Fakta-Fakta dijelaskan, pasukan-pasukan yang setia kepada G-30-S menduduki stasiun pusat RRI dan memaksa sang penyiar membacakan sebuah dokumen terketik untuk siaran pagi itu.

Mereka yang memasang radio sekitar pukul 7.15 WIB menangkap pengumuman selama sepuluh menit yang terdengar seperti warta berita biasa saja.

Baca Juga: Muslim di Hainan Dilarang Pakai Hijab ke Sekolah oleh Tiongkok, Karena Dianggap ‘Tidak Teratur’

Para penggerak G-30-S menulis pernyataan mereka tidak dalam gaya bicara orang pertama, tetapi orang ketiga, seakan-akan seorang wartawan yang menyusun pernyataan tersebut.

Siaran itu dua kali menyebutkan “menurut keterangan yang didapat dari Letnan Kolonel Untung, Komandan Gerakan 30 September,” sehingga memberi kesan bahwa berita radio itu mengutip dari dokumen lain.

Suara mengelabui dari orang ketiga ini memberi suasana berita yang menentramkan.

Baca Juga: Terus Usik Papua, Indonesia Putuskan Asingkan Vanuatu

Seakan-akan para penyiar radio masih bertugas seperti biasa dan tidak ada pasukan bersenjata menyerbu masuk dan menyela siaran yang sedang berlangsung.

Dengan demikian pernyataan pertama G-30-S tidak tampak disampaikan oleh gerakan itu sendiri, tapi justru oleh bagian berita stasiun RRI.

Ini merupakan awal dari serangkaian panjang ketidaksesuaian antara apa yang tampak dan apa yang nyata. Satu-satunya anggota G-30-S yang namanya diumumkan dalam pernyataan pertama itu ialah Letnan Kolonel Untung.

Baca Juga: Akibat Foto dan Video Tak Senonoh Ibunya Tersebar, Anak SMP Laporkan Pelaku ke Polisi

Ia menyatakan diri sebagai komandan batalyon pasukan kawal presiden yang bermaksud mencegah “kup kontra-revolusioner” oleh sebuah kelompok yang dikenal sebagai Dewan Jenderal.

Jenderal-jenderal tak bernama ini “bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Presiden Sukarno” dan berencana “mengadakan pameran kekuatan (machtsvertoon) pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober.”

Bertindak menentang para perwira atasan mereka, pasukan-pasukan di dalam G-30-S tampaknya didorong oleh kesetiaan mereka yang lebih tinggi, yaitu kepada Presiden Sukarno, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.

Baca Juga: Tidak Apa-apa Mengulum Kemaluan Suami, Begini Hukumnya Menurut Islam

Berita itu menyatakan bahwa G-30-S telah menahan “sejumlah jenderal” dan akan segera mengambil langkah lebih lanjut.

Direncanakan akan ada “tindakan-tindakan di seluruh Indonesia yang ditujukan kepada kaki tangan dan simpatisan-simpatisan Dewan Jenderal.”

Siapa saja yang akan melaksanakan aksi-aksi itu tidak disebutkan. Suatu badan bernama “Dewan Revolusi Indonesia” akan dibentuk di Jakarta dan akan bertindak sebagai semacam kekuasaan eksekutif.

Baca Juga: Tak Hanya Bikin Mabuk, Kecubung Dapat Redakakan Pegal Linu dan Rematik

Semua “partai-partai, ormas-ormas, surat kabar-surat kabar dan majalah-majalah” harus “menyatakan kesetiaannya” kepada Dewan Revolusi Indonesia jika mereka ingin mendapat ijin untuk terus bekerja.

Dewan-dewan revolusi di tingkat lebih rendah akan dibentuk di setiap jenjang administrasi pemerintahan, mulai dari provinsi sampai ke desa.

Pengumuman ini menjanjikan bahwa rincian tentang Dewan Revolusi akan disiarkan melalui surat keputusan berikutnya.

Baca Juga: Sosok Diplomat Muda Silvany Austin, Pukul Telak Vanuatu di Forum Internasional PBB

Selain mengambil alih stasiun radio dan memaksa penyiar untuk membacakan pernyataan mereka, pasukan-pasukan G-30-S juga menduduki Lapangan Merdeka, yang terletak di depan stasiun RRI.

Di sepanjang empat sisi lapangan rumput yang luas ini berdiri pusat-pusat kekuasaan terpenting negara: istana presiden, markas ABRI, kementerian pertahanan, markas Kostrad, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Di tengah lapangan berdiri monumen perjuangan kemerdekaan, Monumen Nasional, setinggi 137 meter.

Apabila bentangan kepulauan Indonesia memiliki locus kekuasaan politik, Lapangan Merdeka inilah tempatnya.

Baca Juga: Serang Indonesia, Ini 5 Fakta Mengejutkan Vanuatu, dari Kanibalisme hingga Negara Paling Berbahaya

Sebagian besar dari sekitar seribu prajurit yang berada di lapangan ini berasal dari dua batalyon Angkatan Darat: Batalyon 454 dari Jawa Tengah dan Batalyon 530 dari Jawa Timur.

Pasukan-pasukan ini ditempatkan di sisi utara lapangan di depan istana, di sisi barat di depan RRI, dan di sisi selatan dekat gedung telekomunikasi yang juga mereka duduki dan mereka tutup.

Jaringan telefon di Jakarta mereka putus. Dengan mengambil posisi di lapangan pusat ini, satu bagian dari pasukan G-30-S membuat dirinya tertampak.

Baca Juga: Ketahui 6 Fakta dan Mitos Seputar Asam Urat yang Jarang Orang Tahu

Yang lebih tersembunyi adalah kesatuan lain yang beroperasi dari Lubang Buaya, kawasan kebun karet tak berpenghuni sekitar tujuh mil di selatan Lapangan Merdeka.

Pada saat siaran radio yang pertama mengudara pasukan-pasukan ini sudah melaksanakan tugas mereka di balik selubung kegelapan.

Mereka berkumpul di Lubang Buaya sepanjang 30 September malam dan mendapat perintah untuk menculik tujuh jenderal yang diduga anggota Dewan Jenderal.

Baca Juga: Pesona 11 Jenis Tanaman Hias Philodendron, Tak Kalah dengan Aglaonema

Pasukan dibagi menjadi tujuh kelompok, dan setiap kelompok diperintahkan untuk menangkap seorang jenderal dari rumahnya dan membawanya ke Lubang Buaya.

Berbagai kelompok ini naik truk sekitar pukul 3.15 pagi buta dan menderum menuju pusat kota yang berjarak waktu tiga puluh sampai empat puluh lima menit.

Sebagian besar kelompok menuju daerah Menteng, tempat kediaman banyak pejabat tinggi pemerintah.

Baca Juga: Pesona 11 Jenis Tanaman Hias Philodendron, Tak Kalah dengan Aglaonema

Sasaran mereka ialah Jenderal A.H. Nasution, Menteri Pertahanan, Letnan Jenderal Achmad Yani, Panglima Angkatan Darat, lima Staf Umum Angkatan Darat: Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Mayor Jenderal R. Suprapto, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo, dan Brigadir Jenderal Donald Ishak Pandjaitan.

Pasukan-pasukan bergerak melalui jalan-jalan sunyi dan singgah di rumah-rumah yang sudah terlelap. Enam kelompok berhasil menangkap sasaran mereka dan segera kembali ke Lubang Buaya.

Kelompok ketujuh yang ditugasi menangkap sasaran paling penting, Jenderal Nasution, kembali dengan ajudannya saja.

Baca Juga: Singgung Indonesia, Begini Geografi dan Situasi Politik di Vanuatu

Di tengah kekalutan penggerebekan, pasukan menembak anak perempuan Nasution yang berumur lima tahun dan seorang prajurit kawal yang berada di depan rumah sebelahnya, yaitu rumah Wakil Perdana Menteri II (Waperdam II) Johannes Leimena.

Nasution berhasil melompati tembok belakang kediamannya dan bersembunyi di rumah tetangga, yaitu Duta Besar Irak.

Walaupun terjadi kegemparan di Menteng akibat bunyi tembak-menembak, tujuh kelompok penculik berhasil dengan cepat kembali ke Lubang Buaya tanpa dikenali atau dikejar.

Baca Juga: Kisah Turunnya Surat Al Ikhlas, Rencana Kaum Quraisy untuk Membunuh Nabi Muhammad SAW

Sampai selambat-lambatnya sekitar pukul 5.30 pagi G-30-S telah menahan enam orang jenderal dan satu orang letnan di suatu sudut terpencil dan kurang dikenal di kota Jakarta.

Sementara itu pimpinan G-30-S berkumpul di pangkalan AURI di Halim tepat di sebelah utara Lubang Buaya.

Seorang kurir datang memberi tahu mereka bahwa perwira-perwira yang diculik telah tiba.

Baca Juga: 9 Jenis Makanan Berikut Mampu Atasi Perut Kembung, Salah Satunya Pisang

Dengan selesainya operasi penculikan pimpinan G-30-S mengutus tiga perwira mereka – Brigjen M.A. Supardjo, Kapten Sukirno dari Batalyon 454, dan Mayor Bambang Supeno dari Batalyon 530 – ke istana untuk menghadap Presiden Sukarno.

Supardjo, komandan pasukan tempur di Kalimantan, di sepanjang perbatasan dengan Malaysia, telah tiba di Jakarta tiga hari sebelumnya (28 September 1965).

Sukirno dan Supeno memimpin batalyon-batalyon yang ditempatkan di Lapangan Merdeka.

Baca Juga: Berbahaya, Gatot Sebut Bakal Terjadi Pertumpahan Darah Jika RUU HIP Disahkan

Sekitar pukul 6 pagi trio perwira itu, dengan berkendaraan jip melaju ke arah utara, menuju istana presiden. Bersama mereka ada dua personil lain, seorang perwira AURI, Letnan Kolonel Heru Atmodjo, dan seorang prajurit yang bertugas sebagai pengemudi jip.

Ketika Supardjo dan rekan-rekannya tiba di istana, para pengawal di pintu masuk memberi tahu bahwa Presiden Sukarno tidak ada di istana.

Tidak jelas apa kiranya yang akan dilakukan ketiga perwira itu andaikata presiden ada. (Bersambung)***

Editor: Dian Effendi

Tags

Terkini

Terpopuler