"Ketika sampai di lokasi kita ga curiga sama sekali karena brand yang dimunculin kan 'Nasi uduk Aceh', tapi pas ngelihat dendengnya punya warna yang unik dan beda dengan dendeng yang biasa kita lihat di Aceh," katanya.
Ia kemudian bertanya kepada pegawai di rumah makan tersebut awalnya belum terjawab, ternyata yang menjawab adalah pelanggan di situ dan benar, dendang yang dijual berbahan dasar babi.
Setelah mengetahui hal tersebut, ia dan keluarganya langsung pulang dan mencari sarapan di tempat lain.
Baca Juga: Gunung Ile Lewotolok Lembata NTT Kembali Mengalami Erupsi, Ketinggian Abu Kurang Lebih 1.000 Meter
Menurutnya, ia tak mempermasalahkan soal makanan babi atau semacamnya, karena semua orang punya hak dan dlindungi.
Akn tetapi, perlu digaris bawahi bahwa Aceh mempunyai Undang-undang tersendiri terkait kekhususan syariat islam.
Masakan Aceh diketahui masyarakat luas adalah masakan halal, sehingga orang-orang yang ingin kulineran masakan Aceh tidak ragu akan kehalalannya.
Rajifirdana melanjutkan, yang ia kritisi adalah penggunaan nama brand "Aceh" untuk masakan yang berbahan baku non halal.
Baca Juga: Kemenag Ogah Sebut Lembaga Pendidikan Khilafatul Muslimin Sebagai Pesantren
Padahal, jika menggunakan nama "Aceh" pastinya orang berpikir bahwa masakan itu adalah halal, tetapi ini ternyata digunakan untuk produk masakan non halal.