Keberadaanya tentu mendasari, meliputi dan menjiwai semua sila di bawahnya, termasuk Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun tidak demikian halnya dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hal ini secara tidak langsung mengamandemen Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, tergantikan dengan “Negara berdasar atas Keadilan Sosial”.
Implikasinya, akan memberikan peluang masuknya konsep Keadilan Sosial versi sosialisme-komunisme (ateisme) dan/atau liberalisme-kapitalisme (sekularisme).
Kedua: Tuhan menunjuk pada Budaya. Hal ini didasarkan pada paham “Ketuhanan yang berkebudayaan” dalam RUU-HIP. Paham ini diambil dari pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Baca Juga: Intelijen Inggris Ungkap Bukti Baru Covid-19 dari Lab Wuhan Tiongkok
Ketuhanan yang berkebudayaan melekat erat dengan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.
Di sisi lain, agama (baca: Islam) tidak menjadi dominan dalam Pembangunan Nasional, lebih diarahkan pada mental dan spiritual. Hal ini sejalan dengan Revolusi Mental Jokowi.
Jokowi pernah mengatakan “Islam kita adalah Islam Nusantara.” Paham ini berhubungan juga dengan paham Sekularis-Pularis-Liberalis (SEPILIS).
Baca Juga: Pamit ke ATM, Syifa Tak Kunjung Pulang dan Menghilang Secara Misterius
Kesemuanya, berkorelasi dengan teori receptie Snouck Hurgronje, yang mengatakan bahwa, “Hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sepanjang Hukum Adat menerimanya”.