Peristiwa 12 September, Kegagalan Dinasti Ottoman dalam Perang Wina

- 12 September 2020, 08:10 WIB
Lukisan pertempuran Wina
Lukisan pertempuran Wina /Juliusz Kossak/

RINGTIMES BANYUWANGI -Setelah berkali-kali Dinasti Ottoman gagal menguasai Eropa, hal tersebut tidak menyurutkan langkah untuk terus memperjuangkannya.

Setelah tahun 1529 gagal menaklukkan Wina yang dikepung berminggu-minggu lantaran salju dari musim dingin yang secara ajaib turun lebih awal, maka tahun 1571 Dinasti Ottoman kembali merasakan kekalahan dalam pertemupuran laut Lepanto.

Hal ini juga dikatakan sebagai keajaiban karena angin tiba-tiba berubah arah dan mengacaukan armada perang Turki.

Baca Juga: Lirik Lagu Rembulan Bersinar Lagu yang Dipopulerkan oleh Mansyur S, Nostalgia Era 90an

Setelah kekalahan di Lepanto, Dinasti Ottoman tidak lagi berambisi untuk menaklukkan laut, tetapi Dinasti Ottoman masih berambisi menaklukkan Eropa melalui jalur darat.

Pada abad 17, Dinasti Ottoman telah menguasai wilayah Balkan, Polandia, Lithuania, serta sebagian Rusia. Namun, pada tahun 1674, Jan Sobieski berhasil membebaskan Polandia dan Lithuania dari Dinasti Ottoman.

Untuk menegakkan kembali wibawa Dinasti Ottoman Turki, Sultan Mehmet IV mengkompensasi berbagai kekalahan tersebut dengan menyerang Eropa Barat. Wina yang merupakan ibukota Romawi Suci menjadi sasaran pertama penyerangannya.

Baca Juga: Doa Bulan Safar untuk Menangkal Tradisi Mistis yang Dipercaya Masyarakat

Dengan menguasai wina, maka Roma otomatis menjadi target selanjutnya. Apabila Wina dan Roma dapat dikuasai Dinasti Ottoman, maka seluruh Eropa kemungkinan akan tunduk di bawah hukum syariah kepemimpinan Dinasti Ottoman Turki.

Saat Dinasti Ottoman mengancam Romawi Suci yang dikenal dengan sebutan Austria untuk menyerahkan daerah kekuasaannya di Hungaria kepada pemberontak, tentu saja Austria menolak.

Raja Leopold I melaporkan situasi ini pada Paus melalui Marco D'Aviano yang menjabat sebagai papal nuncio atau utusan Paus. Penolakan tersebut dijadikan alasan bagi Dinasti Ottoman Turki untuk menyatakan perang terhadap Austria pada tanggal 6 Agustus 1682.

Baca Juga: Jadwal Bioskop Trans TV Sabtu, 12 Sepetember 2020, The Forger Salah Satunya

Raja Leopold I kemudian mengambil langkah strategis untuk mengikat perjanjian kerjasama dengan Raja Jan III Sobieski (atau Jan Sobieski) dari Polandia. Perjanjian ini kelak menjadi kunci penting yang akan menyelamatkan Wina dari serbuan Turki.

Selanjutnya dengan bantuan Paus Inosentus XI, Raja Leopold I bersama ahli strategi militer Duke Charles V dari Lorraine juga berusaha menggalang bantuan dari beberapa kerajaan seperti Venesia, kerajaan-kerajaan Jerman seperti Bavaria, Baden, Swabia, Franconia, juga Saxonia yang Protestan, berhasil diajak untuk bergabung dalam pasukan sekutu Kristen.

Sementara itu Perancis, seperti juga saat Perang Lepanto, tetap tidak bersedia membantu. Perancis pada saat itu memang sedang berseteru dengan dinasti Hapsburg Austria untuk berebut pengaruh di Eropa. Perancis bahkan mengirimkan pesan kepada Turki bahwa mereka akan bersikap netral pada perang tersebut.

Baca Juga: 4 Tips Mudah Bakar Kalori dalam Tubuh, Salah Satunya Bersih-bersih Rumah

Sejak awal tahun 1683 Turki sudah memobilisasi pasukan, mempersiapkan jalur logistik dan perbekalan, mempersiapkan amunisi yang cukup untuk peperangan jangka panjang, menyiapkan ahli-ahli teknik untuk membongkar benteng pertahanan Kota Wina.

Dikutip ringtimesbanyuwangi.com dari peperangan.wordpress.com, pada 13 juli 1683 (18 Rajab 1094 H), Wazir Akbar Kara Mustafa ditugaskan ke Wina memimpin 300.000 mujahidin.

Kembali terjadi pengungsian massal, dan sedikit yang bersedia ikut mempertahankan kota. Kara Mustafa masih memberi Wina tempo sampai menyerah.

Daerah-daerah sekitar Wina mulai mengirim duta untuk memulai negosiasi perdamaian. Bahkan pada 29 juli 1529, Bratislava (ibu kota Slovakia sekarang) memohon agar dijaga.

Baca Juga: Subsidi Kuota Internet Hanya Akan Diterima oleh 21,7 Juta Nomor HP dari 44 Juta Siswa

Daerah-daerah itu merasa bebas dibawah kekhilafahan Islam dibanding di bawah Kaisar Habsburg Austria

Melihat ancaman yang begitu besar dan tidak sebanding, Raja Leopold I dan Duke Charles of Lorraine segera keluar dari Kota Wina beserta 2/3 pasukannya guna menggalang bala bantuan.

Mereka hanya menyisakan sekitar 12 ribu pasukan ditambah dengan sekitar 5000 orang sipil tak terlatih untuk mempertahankan Kota Wina. 

Sekilas apa yang dilakukan Raja Leopold I tampak seperti sebuah tindakan pengecut. Namun nanti ternyata bahwa tindakan tersebut ikut andil menyelamatkan kota Wina.

Kepergian Raja Leopold I beserta sebagian besar pasukannya membuat kota Wina memiliki persediaan makanan yang membuat mereka mampu bertahan lebih lama dari yang diperkirakan oleh Mustafa Pasha.

Baca Juga: 7 Cara Cepat, Mudah, dan Hemat untuk Ganti Suasana Interior Rumah

Pasukan Turki mulai membangun kubu-kubu pengepungan di sekeliling benteng kota. Sambil menyusun pengepungan, Mustafa Pasha meneror kota dengan menembakkan puluhan anak panah berisi tuntutan damai khas Islam: "Bertobatlah menjadi muslim dan serahkan kota, atau bersiaplah untuk berperang!"

Sementara itu, saat seluruh Eropa dilanda ketegangan karena pengepungan kota Wina dan terfokus untuk mempersiapkan bantuan, Perancis justru mengambil kesempatan tersebut untuk secara licik menyerang Belanda yang saat itu ada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi Suci. Tindakan tak bermoral ini membuat Raja Louis XIV dari Perancis dijului sebagai "Orang Turki yang paling Kristen!"

Setelah tuntutan damainya diabaikan oleh gubernur kota Wina yaitu Ernst Rudiger von Starhemberg, pasukan Turki mulai menyerang benteng pertahanan Kota Wina dengan ratusan kanon.

Baca Juga: Peluang Pekerja Terima BLT Rp600 Ribu meski Sudah Tak Jadi Peserta BPJS Ketenagakerjaan

Tetapi setelah beberapa hari serangan sengit dilakukan, nyatalah bahwa tembok pertahanan Kota Wina amat kokoh dan berlapis sehingga tidak dapat ditembus dengan mudah.

Senjata-senjata kanon orang Austria juga lebih baik sehingga membuat pasukan penyerang kewalahan dan berkali-kali dipukul mundur dengan banyak korban tewas.

Akhirnya setelah seminggu serangan kanon gagal membongkar tembok pertahanan, Mustafa Pasha mulai menggunakan strategi lain, yaitu menggali terowongan bawah tanah untuk meletakkan bom-bom di bawah tembok pertahanan kota. Tetapi, strategi tersebut segera dikenali pasukan Austria.

Mereka mengatasinya dengan membuat alat deteksi sederhana berupa ember air yang diletakkan di sekeliling tembok pertahaan.

Jika keberadaan terowongan Turki berhasil dideteksi, mereka membuat terowongan dari arah benteng untuk merusaknya.

Tidak jarang kedua pasukan bertemu di dalam terowongan dan bertempur di dalam kegelapan terowongan.

Sementara itu pasukan bantuan dari sekutu Kristen mengalami berbagai kesulitan dalam berkoordinasi sehingga tidak dapat segera datang memberikan bantuan.

Baca Juga: Wali Kota Bogor Bima Arya Tolak Mentah-mentah PSBB Total: Jangan Bunuh Nyamuk dengan Meriam

Pasukan sekutu ini dipimpin oleh Raja Jan Sobieski dari Polandia, dengan dibantu oleh Duke Charles of Lorraine dari Kekaisaran Romawi Suci.

Belajar dari apa yang dilakukan Perancis, Jan Sobieski mengirimkan ancaman kepada pemimpin pemberontak Hungaria yang bersekutu dengan Turki. Pesannya agar mereka tidak ikut campur dan memanfaatkan situasi.

Ancaman ini ternyata cukup efektif untuk mengamankan Polandia dan Lithuania dari kemungkinan serangan orang-orang Hungaria selama Jan Sobeski pergi.

Pada tanggal 15 Agustus 1683 Jan Sobieski beserta pasukannya berangkat dari Polandia menuju Austria.

Gerakan pasukan kavaleri Polandia berjalan lambat karena mereka harus menembus hutan yang lebat.

Baca Juga: Link Live Streaming Timnas Indonesia vs Arab Saudi di NET TV dan MOLA TV

Sementara itu pasukan dari kerajaan-kerajaan Venesia, Bavaria, Baden, Franconia, Swabia, dan Saxon yang Protestan juga sudah berangkat menuju lokasi konflik.

Pada tanggal 4 September sebuah bom terowongan yang luput dari deteksi berhasil meledak dan merusak satu bagian tembok pertahanan. Pasukan Turki dengan pasukan elit janissary-nya langsung menyerbu ke dalam benteng melalui bagian tembok yang runtuh.

Akan tetapi, pasukan Austria dibantu rakyat sipil memberikan perlawanan hebat dan berusaha menambal benteng yang runtuh dengan kantong-kantong pasir, balok-balok kayu, dan apapaun yang bisa digunakan.

Setelah enam minggu lebih gagal menembus benteng pertahanan kota Wina, sebagian pasukan Turki mulai frustasi dan kehilangan moral. Apalagi, perlawanan yang sengit dari orang-orang Austria telah menimbukan banyak korban tewas dan luka-luka diantara pasukan Turki.

Baca Juga: Akibat Covid-19, Pesanan Peti Jenazah Meningkat 3 Kali Lipat di Jakarta Timur

Akan tetapi, dengan berhasil diruntuhkannya salah satu bagian tembok pertahanan kota membuat moral pasukan Turki kembali naik. Mereka punya keyakinan sebentar lagi Wina akan mereka kuasai.

Sementara itu keadaan di dalam benteng juga sudah parah. Tidak hanya banyak pasukan Austria dan rakyat sipil yang tewas dan terluka, tetapi cadangan bahan panganpun mulai menipis dan dijatah ketat. Hewan-hewan peliharaan seperti anjing dan kucing sudah mulai dijadikan konsumsi.

Penderitaan itu ditambah lagi dengan munculnya berbagai penyakit akibat sanitasi yang buruk dan mayat-mayat yang belum sempat dikuburkan. Wabah penyakitpun mulai berdampak pada sebagian pasukan dan rakyat sipil yang tersisa.

Sekiranya Raja Leopold I tidak menarik 2/3 pasukannya ke luar kota Wina, pasti mereka sudah kehabisan persediaan makanan dan tidak dapat bertahan sejak dua minggu sebelumnya. 

Baca Juga: Rekomendasi Novel Pilihan untuk Mengisi Waktu Libur Anda di Akhir Pekan

Setiap malam dari atas menara Katedral St. Stefanus mereka menyalakan roket ke udara sambil menantikan jawaban dari pasukan bantuan yang belum juga muncul.

Tanggal 10 September malam hari, mereka melihat dari kejauhan balasan roket ditembakkan di sebelah utara kota Wina. Hal tersebut merupakan pertanda bantuan pasukan sekutu yang diharapkan sudah mulai tiba.

Nyatanya, sekitar 60 ribu pasukan Venesia, Bavaria, Baden, Franconia, Swabia, dan Saxon sudah mulai berdatangan. Mereka berkemah di wilayah perbukitan kurang lebih 45 km di utara Kota Wina.

Hari berikutnya Jan Sobieski dan 30 ribu pasukannya juga mulai muncul, mereka mengambil posisi di bukit Kahlenberg yang strategis.

Setelah mengamati keadaan pasukan Turki dari ketinggian Bukit Kahlenberg, Jan Sobieski melihat perkemahan pasukan yang tak terjaga dengan baik. Ia langsung mengetahui kelemahan pasukan Turki.

Baca Juga: 3 Jenis Kopi ini Paling Banyak Diminati, dari Remaja Hingga Dewasa dan Manfaat Kafein

Mustafa Pasha yang menyadari kehadiran pasukan bantuan dari sekutu langsung memerintahkan sebagian pasukannya, termasuk pasukan elit janissary, untuk menghadang mereka.

Pada tanggal 12 september dini hari,  pasukan Turki menyerang posisi pasukan sekutu lebih dahulu. Tetapi, serangan itu sudah diantisipasi, dan kondisi perbukitan menyulitkan pasukan Turki untuk menyerang secara efektif.

Akibatnya, serangan ini dengan mudah dipukul balik sehingga pasukan Turki yang sudah kelelahan dan jenuh bertempur harus mundur teratur melawan pasukan sekutu yang masih segar dan bersemangat tinggi.***

Editor: Dian Effendi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x