4 Kebijakan yang Membuat Sri Lanka Krisis Ekonomi, Hutang Luar Negeri Hingga Kesalahan Pemotongan Pajak

- 16 April 2022, 07:35 WIB
Saat ini negaara Sri Lanka tengah mengalami krisis ekonomi besar-besaran yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah.
Saat ini negaara Sri Lanka tengah mengalami krisis ekonomi besar-besaran yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah. /PIXABAY/dmncwndrlch/

RINGTIMES BANYUWANGI – Beberapa tahun yang lalu ekonomi Sri Lanka terlihat baik-baik saja, banyak industri pariwisata berkembang pesat dan pembangunan proyek infrastruktur masuk menjadi berita global.

Namun, pada tahun 2022 dunia dibuat terkejut ketika Sri Lanka menyatakan mengalami krisis ekonomi yang berujung kebangkrutan. Ada apa sebenarnya?

Sri Lanka merupakan negara yang terletak di Tenggara India ini memiliki populuasi hampir 22 juta penduduk dan saat ini telah terperangkap ke dalam krisis ekonomi.

Laporan terakhir menyatakan kurang lebih sekitar $51 miliar atau setara dengan Rp733 triliun utang luar negeri ditambah dengan kekurangan cadangan devisanya.

Baca Juga: Sri Lanka Alami Krisis Ekonomi, Eran Wickramaratne Ungkap Masyarakat Tidak Percaya Pemerintah

Akibatnya, Sri Lanka sedang berjuang membayar kebutuhan impor demi memenuhi keperluan primer masyarakatnya.

Hal ini dikarenakan kenaikan tajam pada harga komoditas penting seperti beras, bahan bahakr, dan susu. Kekurangan bahan bakar membuat sebagian besar negara Sri Lanka menderita karena pemadaman listrik selama 13 jam.

Tahun 2022 ini, kewajiban Sri Lanka untuk membayar utang luar negeri lebih dari $7 miliar. Namun, realitas cadangan devisa pada Maret hanya $1,6 miliar.

Baca Juga: Masyarakat Sri Lanka Turun ke Jalan Akibat Negara Gagal Bayar Utang dan Terancam Bangkrut

Akibatnya, pada hari Selasa, 12 April 2022 Sri Lanka menyatakan default (gagal bayar utang) terhadap semua utang luar negerinya dan saat ini mengharapkan talangan dana dari International Monetary Fund (IMF) untuk menyelamatkan diri dari krisis ekonomi yang memburuk.

Padahal, beberapa tahun lalu yang tampaknya Sri Lanka telah memilih jalur yang benar untuk mengembangkan pariwisata, membangun proyek mega-infrastruktur secara tiba-tiba menyatakan default. Apa yang sebenarnya terjadi?

Keputusan Memilih Suatu Kebijakan

Sri Lanka secara penilaian International Sovereign bonds (ISB) sudah dinilai mengalami krisis keuangan sejak lebih dari satu dekade lalu, dimana utang luar negeri yang menumpuk dari negara kepulauan tersebut.

Baca Juga: Krisis Ekonomi, Sri Lanka Dapat Protes Warganya untuk Kirimkan Dana Dari Luar Negeri

Dr. Muttukrishna Sarvananthan, peneliti dan pengamat ekonomi bangunan di Point Pedro Institute of Development di Sri Lanka mengemukakan pendapatnya.

“Sejak dinyatakan menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah sejak awal tahun 2000-an, pemerintah Sri Lanka terus-menerus memperbanyak pinjaman dari pasar modal internasional swasta melalui penerbitan obligasi negara,” ucap Sarvananthan.

Menurut Sarvananthan melalui pinjaman itu yang akan berkontribusi dengan rawannya neraca pembayaran Sri Lanka.

Sarvananthan juga melanjutkan, lebih menakutkannya lagi, pinjakan pasar modal itu tidak bersyarat, yang justru akan mengakibatkan tingkat bunga yang relative tinggi namun dalam jangka waktu pembayaran yang lebih singkat.

Baca Juga: Kucing Tahanan Pengedar Narkoba Lolos, Sri Lanka Marak Penyelundupan narkoba menggunakan hewan

Akibatnya, ISB menyumbang hampir setengah dari total utang luar negeri Sri Lanka. Penurunan tajam dalam harga pasar obligasi ini diikuti dengan pengumuman Sri Lanka hari Selasa tentang default pada utang luar negerinya.

“Gagal bayar suatu negara adalah suatu tindak kejahatan namun tak dapat dihindarkan untuk meyakinkan IMF di kemudian hari,” Ujar Sarvananthan.

Lanjut Sarvananthan, Negara sudah pusing dengan urusan ketidakstabilitasan politik ditambah dengan protes publik yang meluar dan terus-menerus di seluruh daerah.

Pemotongan pajak 

Baca Juga: 15 Paspor Terkuat di Dunia, Peringkat Berubah Akibat Perang Rusia Ukraina

Baru-baru ini, pemerintah Sri Lanka menawarkan pemotongan pajak pertambahan nilai dan pendapatan yang tidak diterima oleh Wajib Pajak. Namun, kebijakan ini justru  menghilangkan  pendapatan pemerintah secara ekstrim.

Akibatnya, Rupee Sri Lanka mulai tergelincir. Ditambah dengan kondisi tidak adanya cadangan kas yang diperlukan, Sri Lanka harus merelakan rupee jatuh bebas pada awal Maret.

“Suku bunga harus ditingkatkan karena untuk menghentikan kenaikan yang semakin besar dalam kondisi inflasi seperti ini. Bahkan, bulan April diprediksi akan naik sebesar 20%, bahkan 30% untuk bahan makanan,” kata Sarvananthan.

Baca Juga: Pernyataan Berbahaya NATO, Buat Perang Rusia-Ukraina Terancam Meluas Hingga ke Eropa

Bank Sentral Sri Lanka akhirnya menaikkan suku bunga sebesar 7 persen.

Meskipun terdapat tindakan dari Bank Sentral, menurut Sarvananthan pemulihan ekonomi dari kekacauan ini akan memakan wktu setidaknya lima tahun.

Dan lagi, meskipun pengurangan pajak konsumsi tidak langsung seperti PPN bisa bermanfaat bagi orang biasa, tetapi pengusaha kaya pada dasarnya menginginkan pengurangan pajak penghasilan perusahaan dan pribadi.

Baca Juga: Pernyataan Berbahaya NATO, Buat Perang Rusia-Ukraina Terancam Meluas Hingga ke Eropa

Apalagi dengan kondisi COVID-19 dan perang di Ukraina juga terus mendorong harga komoditas global.

“Namun bagaimanapun krisis ekonomi ini merupakan perbuatan Sri Lanka sendiri dan sudah berlangsung lama. Jadi tak ada salahnya bank mengambil kebijakan itu daripada membuang—buang waktu,” kata Sarvananthan.

Dr. W.A Wijewardena, mantan wakil gubernur Bank Sentral Sri Lanka berkata bahwa pemerintah membuat banyak kebijakan yang mengakibatkan ketidakseimbangan makroekonomi pada semua lini dan justru memperburuk krisis ekonomi.

Baca Juga: Perancis Usir 35 Diplomat Rusia, Simak Tanggapan dari Kremlin

Kesalahan pertama dimulai dari pemotongan pajak hingga pinjaman yang memperburuk. Kedua, penjualan cadangan devisa untuk menopang nilai tukar dengan dollar.

Ketiga, ide yang terlalu ambisius untuk beralih ke pertanian organik yang menyebabkan penurunan signifikan dalam hasil pertanian.

Masih menjadi mitra strategis

Cina memegang porsi yang signifikan dari total utang luar negeri Sri Lanka sebesar hampir 10 persen, sedikit lebih banyak dipegang oleh Jepang, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.

Baca Juga: Kondisi Berbalik, Pasukan Ukraina Berhasil Rebut Sejumlah Kota dan Desa dari Tangan Rusia

Negara tetangganya, India memegang hampir 3 persen. Sri Lanka menjadi definisi tersendiri bagi India dan Cina.

Bagi Cina, Sri Lanka menjadi penghubung penting dalam proyek pembangunan infrastruktur jalan. Bagi India, Sri Lanka adalah negara yang signifikan secara geopolitik.

“Sri Lanka menjadi negara netral antara dua negara yang kuat itu, terlebih Sri Lanka tidak memihak,” kata Wijewardena.

Baca Juga: Kondisi Berbalik, Pasukan Ukraina Berhasil Rebut Sejumlah Kota dan Desa dari Tangan Rusia

"Di masa lalu, Sri Lanka telah membantu ekonomi dari kedua negara tanpa menyinggung salah satunya. Namun, disaat yang bersamaan juga telah terjadi persaingan antara dua negara kuat itu untuk membantu Sri Lanka agar mendapatkan pijakan di negara tersebut.”

Alasan yang didorong motif geopolitik adalah alasan utama mengapa pemerintahan presiden Sri Lanka saat ini, Gotabaya Rajapaksa yang berani memiliki gagasan bahwa krisis dapat diatasi tanpa bantuan IMF.

Permainan ‘Cantik’ Dua Negara Tetangga

Dengan nasib buruk yang sedang dialami Sri Lanka, kedua negara terus bermain bagus. Pada bulan Januari, India setuju untuk menunda pembayaran Asian Clearing Union sebesar $515 juta dan memperpanjang kredit perdagangan darurat sebesar $500 juta.

Baca Juga: Presiden Rusia Vladimir Putin Kerap Didampingi Dokter, Idap Kanker Tiroid?

Pada bulan Maret, India memperpanjang kredit atas perdagangan lain sebesar $1 miliar melalui Bank Negara India. Sumber mengatakan bahwa India terbuka untuk tambahan $ 2 miliar bantuan untuk Sri Lanka.

Sedangkan dengan Cina, menurut Wijewardena Sri Lanka telah meminta Cina untuk melakukan restrukturisasi utang tetapi Cina belum mengabulkan permintaan ini.

"Awalnya telah menunjukkan kesediaan untuk memberikan pinjaman lain sebesar $2,5 miliar untuk memungkinkan Sri Lanka membiayai kembali pinjaman yang jatuh tempo tetapi kemudian ditarik kembali. Sebaliknya, Cina memberikan bantuan kepada Sri Lanka dengan memberikan pertukaran Yuan sebesar 10 miliar Yuan." ucap Wijewardena.

Baca Juga: Rusia Ungkap Rencana Buruk Amerika Serikat Terhadap Ukraina

Jumlah pertukaran ini hampir mencapai $1,5 miliar memang memberikan dorongan besar bagi cadangan devisa Sri Lanka, namun masih belum cukup untuk mengurangi krisis.

Strategi Sri Lanka saat ini adalah mendapatkan keringanan melalui restrukturisasi utang bersama dengan dukungan IMF.

Namun solusi lainnya harus pada peningkatan arus masuk valas melalui pengembangan ekspor barang dan jasa dengan menawarkan fasilitas untuk investasi asing secara langsung.***

Editor: Shadinta Aulia Sanjaya

Sumber: DW News


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah