Kuasai Keahlian Mendengarkan, Atau Anda Akan Gagal Menjadi Pemimpin

- 13 September 2021, 13:50 WIB
Ilustrasi pemimpin/Penting bagi kepala sekolah untuk menguasai keahlian mendengarkan. Bagaimana jika tidak? Simak selengkapnya.
Ilustrasi pemimpin/Penting bagi kepala sekolah untuk menguasai keahlian mendengarkan. Bagaimana jika tidak? Simak selengkapnya. /Pexels/

RINGTIMES BANYUWANGI - Organisasi disusun atas beragam persepsi yang dikompromikan oleh visi yang sama.

Hal ini diperlukan untuk menuju visi yang telah ditetapkan sebelumnya melalui kemufakatan. Maka untuk bergerak menuju visi tersebut, dibentuklah pemimpin. 

Nah, dalam hal ini tugas pemimpin adalah pelaksana (executive) organisasi.

Ketika hal tersebut sudah menjadi suatu kewajiban, maka harus ada dua syarat utama sebagai pemimpin. 

Baca Juga: Hukum Paretto dan Mindset Keunggulan Prestatif Sekolah

Pertama, mampu menjadi penengah yang baik dengan mengkolaborasikan semua potensi yang ada.

Dan yang kedua adalah memiliki keluasan pandangan dalam memandang sebuah perbedaan tentang cara melakukan suatu langkah. 

Penengah yang baik, dalam hal ini dapat dilihat dari apa yang telah dicontohkan Nabiyullah Muhammad SAW saat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh umat ketika hendak mengembalikan hajar aswad yang terbawa arus banjir menjauh dari ka'bah.

Dimana masing-masing kafilah merasa satu-satunya pihak yang sah untuk mengembalikan sang hajar aswad.

Baca Juga: Menakar Tantangan Guru Lintas Generasi di Era 5.0

Disini muncul permasalahan. Dan dengan bijaknya, Rasulullah yang akhirnya ditunjuk sebagai penengah, menggelar sajadahnya dan meletakkan hajar aswad diatasnya, serta dimintalah oleh beliau, setiap kafilah memegang ujungnya dan membawa sang batu kembali ke tempatnya. 

Berkebalikan dari penengah adalah memihak.

Bukannya menyatukan semua potensi yang ada malah memilih untuk mengabaikan serta menistakan yang berseberangan oleh kemauan sang penerima amanah.

Tentunya jika pola ini diteruskan akan ada arus yang menghambat laju organisasi menuju visi.

Ibaratnya, sebuah bola yang diikat kemudian ujung satu ditarik ke utara sedang ujung yang lain ditarik ke selatan. 

Baca Juga: Kepala Madrasah, Ambang Batas Tertinggi Raihan Prestasi Terbaik Lembaganya

Bukannya mencetak goal, akan tetapi menjauh dari posisi terbaiknya.

Dengan kata lain, menjadi penengah yang baik bermakna melaksanakan prinsip keadilan.

Pemimpin wajib bersikap adil atas yang dipimpinnya.

Adil bermakna menjauhi kesewenang-wenangan dan lebih banyak mendengarkan, sedangkan arif mengelola semua potensi terbaik organisasi.

"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat pada taqwa." (QS. Al-Maaidah : 8)

Baca Juga: Does School Kill Students' Creativy?

Keluasan pandangan menghadapi perbedaan.

Keluasan yang dalam bahasa inggris disebut wide akan membawa seseorang kepada kondisi wise (bijaksana), dan diujung proses ini hadirlah wisdom (kebijaksanaan).

Keniscayaan, perbedaan hadir terutama terletak pada how to (bagaimana cara). Dan memang rerata perbedaan hadir di wilayah cara. 

Persepsi, buku yang dibaca dan pengalaman yang beragam menjadi tiga penyebab utama perbedaan ini.

Bagi pemimpin, jika tubuh kepemimpinannya lebih kecil dari perbedaan, maka pendekatan yang dipilihnya lebih ke arah pendekatan power, bukan pendekatan kultural.

Pendekatan power menekankan pada penggunaan kekuasaan untuk menekan setiap perbedaan dengan memberikan ruang yang sangat sempit pada diskusi dan dialog.

Baca Juga: 3 Syarat Utama Pola Terbaik Yayasan dan Kepala Sekolah, Penentu Gagal atau Suksesnya Lembaga Pendidikan

"Kamu harus manut dengan saya! Karena saya adalah pemimpinmu!"

Seperti itu gambaran bahasa yang sering digunakan. Apa yang terjadi selanjutnya dengan pola ini? 

Yang terjadi hanyalah pemaksaan kehendak pemimpin kepada yang dipimpin. Dan ini lebih dekat pada sosok pemimpin yang meminta dilayani, bukan melayani.

Padahal di sisi lain, hal ini bertentangan dengan makna dasar seorang pemimpin. Yakni pemimpin adalah pelayan bagi umatnya.

Pendekatan terbaiknya justru ada pada pendekatan kultural dimana dialog menjadi panglima tertinggi.

Dari sini dibangun al fahmu atau pemahaman. Lebih banyak mendengar dibanding berbicara. 

Baca Juga: Corona dan Jalan Panjang Pendidikan di Indonesia, Mari Siapkan Imunitas Sekolah

Prosesnya memang tak cepat, namun langkah ini mampu menghasilkan pondasi organisasi yang sangat kuat yang akan menjadi pijakan untuk meloncat cepat menuju visi.

Akan hadir rasa memiliki di semua bagian organisasi. Dan jika pun ada perbedaan, semuanya akan bersepakat untuk berkompromi atas pilihan langkah bersama menuju target.

Dipastikan ada masalah dalam organisasi jika langkah yang seharusnya singkron dan searah menuju visi, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

Kunci penyelesaiannya terletak pada sang pemimpin yang menahkodai.

Baca Juga: Shifting Segera! Dari Berkompetisi Antar Sekolah Menjadi Kolaborasi

Lakukan dua yang dijelaskan sebelumnya, memilih untuk bersikap menengahi dengan berbuat adil dan memilih untuk meluaskan pandangan menghadapi perbedaan. 

Apa yang tertulis dalam tulisan ini berlaku untuk siapapun yang membaca, dan terus menerus kita memohon kepada Allah SWT untuk senantiasa menjaga diri kita, lahir dan batin untuk terus berada dalam tuntunan, panduan serta perlindunganNya dari semua ciptaan buruk dan ketetapannya yang berlaku pada semua makhluk.***

Mas Rofi'
CEO SmartGen Indonesia
Konsultan Branding Sekolah
ESQ 3.0 Coach

Editor: Shofia Munawaroh


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah